TEMPO.CO, Jakarta-Mantan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad mengatakan kesadaran masyarakat terhadap perilaku korupsi merupakan hal penting untuk memberantas kejahatan tersebut. Menurut Mahathir pemimpin korup muncul karena ketidakpedulian masyarakat terhadap perilaku korupsi.
“Kita sering menyalahkan pemimpin, tapi pemimpin yang korup tidak mungkin jadi pemimpin jika tidak diizinkan oleh kita,” kata Mahathir saat orasi ilmiah bertema Membangun Kemandirian Ekonomi dan Pemerintahan Bersih dalam Dies Natalis Universitas Bung Karno ke-17 di Jakarta, Senin, 25 Juli 2016.
Mahathir melihat masih banyak masyarakat yang menerima sogokan dari para calon pejabat. “Kalau masyarakat itu menolak barang yang tidak halal, pemimpin juga tidak akan berhasil memegang jabatan yang mereka idamkan."
Kebudayaan yang baik, kata Mahathir, akan mengatarkan masyarakat kepada perilaku antikorupsi. Sebab, kebudayaan yang baik membuat masyarakat berpikir jauh lebih ke depan.
Dengan pola pikir tersebut, Mahathir menilai masyarakat akan menghindari perilaku korupsi karena meraka tahu dampak buruknya. “Sebaliknya, kalau hanya berpikir untuk saat ini, negara tidak mungkin akan maju dan kita akan hadapi kehidupan yang tidak baik,” ucapnya.
Sebelum menutup orasi ilmiahnya,Mahathir membahas kasus korupsi yang kini sedang ramai diperbincangkan di negaranya. “Seperti negara-negara lain, Malaysia hari ini juga menghadapi masalah rasuah,” kata pria yang menjadi Kepala Pemerintahan Malaysia periode 1981-2003 itu.
Perdana Menteri Malaysia saat ini, Najib Razak, diduga mencuri uang negara yang digunakan untuk dana pembangunan Malaysia (1MDB). Kasus ini muncul ketika jaksa Amerika Serikat menggugat untuk menyita lebih dari US $ 1 juta (Rp 13 trilun) yang diduga terkait dengan dana 1MDB.
Pendiri Universitas Bung Karno, Rachmawati Sukarnoputri, menambahkan perilaku korupsi timbul akibat tidak dijalankannya konsep trisakti yang disusun oleh Presiden Sukarno. Menurutnya ideologi, budaya, dan konstitusi yang dimiliki negara seakan-akan tunduk akan kepentingan liberalisme.
Untuk itu, Rachmawati mendesak pemerintah mengembalikan konstitusi kepada Undang-undang Dasar 1945 yang disahkan tanggal 18 Agustus 1945. "Trisakti hanya dapat dilaksanakan jika konstitusi tetap pada UUD 1945, bukan UUD hasil amandemen," kata Rachmawati yang disambut tepuk tangan para hadirin.
Sejumlah tokoh hadir dalam kegiatan dies natalis itu, antara lain bekas Ketua DPR Akbar Tanjung, Mantan Panglima Tentara Nasional Indonesia Djoko Santoso dan perwakilan negara-negara sahabat.
ARDITO RAMADHAN | KUKUH