TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Luar Negeri menanggapi putusan majelis hakim Pengadilan Rakyat Internasional atau International People's Tribunal (IPT) terkait peristiwa Gerakan 30 September 1965 yang dipublikasikan, Rabu kemarin, 21 Juli 2016. Hakim IPT memutuskan Indonesia bersalah dan bertanggung jawab atas kejahatan kemanusiaan 1965.
"IPT 1965 itu tak mengikat secara hukum, tak ada dalam mekanisme hukum nasional maupun internasional, lagipula komitmen Indonesia soal penegakan hak asasi manusia kan sudah jelas," kata juru bicara Kemlu Arrmanatha Nasir di komplek Kementerian Luar Negeri, Pejambon, Jakarta Pusat, Kamis, 21 Juli 2016.
Menurut Arrmanatha, putusan IPT tersebut tak dilarang karena merupakan produk demokrasi yang berisi pandangan terhadap peristiwa 1965. "Itu kebebasan berekspresi, ibaratnya kita berkoar menyampaikan pendapat, tak dilarang," katanya.
Putusan IPT 1965 tersebut merupakan hasil dari persidangan di Den Haag, Belanda, pada November 2015. Dalam putusan ini disebutkan rangkaian peristiwa setelah Gerakan 30 September 1965 sebagai sebuah genosida.
Putusan yang rencananya disodorkan ke Perserikatan Bangsa Bangsa ini menghasilkan beberapa rekomendasi. Poin rekomendasi itu di antaranya pemerintah Indonesia diminta menyelidiki dan mengadili seluruh pelaku, serta meminta maaf dan bertanggung jawab kepada korban peristiwa 1965.
Namun, pemerintah Indonesia tegas menolak putusan dan rekomendasi tersebut. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan menepis jika peristiwa 1965 disebut sebagai genosida.
Menurut Luhut, masalah HAM di Indonesia harusnya diselesaikan secara internal, tanpa intervensi pihak asing. “Kok dia yang ngatur kita,” kata Luhut di gedung Kemenkopolhukam, Rabu kemarin.
YOHANES PASKALIS