TEMPO.CO, Bandung - Kuota siswa miskin pada Pendaftaran Peserta Didik Baru (PPDB) 2016 tidak merata penuh terisi di sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas negeri sederajat. Sisa kuotanya kini diperebutkan hingga ada indikasi lewat cara melanggar aturan.
"Kami mengimbau agar Wali Kota Bandung Ridwan Kamil konsisten dengan Peraturan Wali Kota Nomor 610 Tahun 2016 tentang PPDB," kata Ketua Forum Aksi Guru Independen (FAGI) Iwan Hermawan.
Berdasarkan pengamatan di lapangan, kata Iwan, ada upaya dari segolongan masyarakat yang ingin mengubah ketentuan peraturan wali kota tersebut. Khususnya pada jalur penerimaan siswa miskin atau rawan melanjutkan pendidikan (RMP). "Ada desakan agar bangku kosong jalur RMP diisi siswa miskin yang tidak diterima di sekolah lain," ujar Iwan, Ahad, 26 Juni 2016.
Sesuai aturan, menurut Iwan, sisa kuota tersebut dilimpahkan ke jalur akademik. Selain itu, desakan perubahan muncul dari jalur MoU atau jatah khusus bagi warga lingkungan sekitar dua sekolah, yakni SMAN 9 dan 14. Dua sekolah tersebut berlokasi dekat kompleks tentara. "Kuotanya minta ditambah dari ketentuan 10 persen menjadi 20 persen," tuturnya.
FAGI dan sejumlah organisasi pendidikan lain berharap Wali Kota Bandung tidak membuka sedikit pun celah untuk mengubah aturan karena dikhawatirkan menimbulkan kekacauan proses pendaftaran seperti tahun sebelumnya.
Kepala Dinas Pendidikan Kota Bandung Elih Sudiapermana mengatakan pengisian kuota siswa miskin lewat pendaftaran jalur non-akademik pada 15-18 Juni 2016 tidak merata. Ada SMA negeri yang sepi pendaftar, seperti SMAN 3 dan 5, hingga kurang dari 50 persen. Penyebabnya, siswa miskin yang terdekat dengan dua sekolah itu sedikit. "Banyak juga pendaftar ke SMK negeri. Khusus jurusan teknologi informasi, pendaftar melebihi kuota," ucap Elih.
Sisa kuota yang kosong itu akan diperebutkan siswa pendaftar dari jalur akademik. Dinas Pendidikan tidak bisa melimpahkan sisa kuota siswa miskin ke siswa miskin lain yang tidak tertampung karena faktor jarak rumah ke sekolah yang bisa jauh dan menguras uang untuk transportasi.
"Masyarakat juga makin realistis, sehingga memilih sekolah terdekat dan mendaftar ke SMK saja supaya bisa langsung bekerja," ujar Elih.
ANWAR SISWADI