TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo tak mempersoalkan munculnya polemik pengesahan Rancangan Undang-Undang Perubahan Kedua atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
"Soal ada pro-kontra wajar. Kalau ada yang merasa tak puas atau kepentingannya terganggu, ya silakan (memprotes)," ujar Tjahjo saat ditemui di gedung Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Jumat, 3 Juni 2016.
Meski sudah disahkan, sejumlah fraksi di DPR masih tak menyetujui poin kewajiban mengundurkan diri bagi anggota dewan dalam UU itu. Tjahjo menegaskan bahwa pengesahan tersebut didasari juga oleh keputusan Mahkamah Konstitusi sehingga wajib dipatuhi.
"Tidak bisa dibatalkan. Keputusan MK ini prinsip ketatanegaraan kita. Pemerintah tidak mungkin abaikan, keputusannya final dan mengikat," katanya.
Tjahjo menambahkan bahwa protes atau penentangan keputusan terhadap MK tidak bisa dilakukan pemerintah dan DPR sebagai penyusun UU tersebut. "Yang berhak untuk menggugat UU adalah masyarakat."
Dua fraksi di DPR, yaitu dari Partai Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), masih keberatan pada salah satu poin UU yang disahkan Kamis kemarin itu. Mereka berprinsip kepala daerah petahana tidak perlu mundur, begitu pula anggota DPR saat mengikuti pilkada.
Pasal 7 poin S dalam UU Pilkada berbunyi: “menyatakan secara tertulis pengunduran diri sebagai anggota DPR, DPD, dan DPRD sejak ditetapkan sebagai pasangan calon peserta pemilihan.” Adapun bagi gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota baru diwajibkan mundur bila mencalonkan diri di daerah lain.
YOHANES PASKALIS