TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Presiden Jusuf Kalla prihatin ihwal hakim peradilan yang terlibat kasus korupsi. Ia menyatakan menyedihkan bila benteng hukum jebol. Agar tak terjadi lagi, Kalla ingin reformasi hukum berjalan.
"Pengawasannya harus kuat dan lebih baik lagi keterbukaannya," kata Kalla di Istana Wakil Presiden, Jakarta, Jumat, 27 Mei 2016. Selain itu, tindakan terhadap aparat penegak hukum yang terjerat kasus harus setara dengan pejabat lain. Bahkan tidak menutup kemungkinan mesti ditindak lebih tinggi lagi.
Selain menuntut reformasi peradilan, Wapres meminta masyarakat ikut membantu upaya perbaikan di bidang hukum. Salah satunya dengan bersikap terbuka dan tidak terpancing melakukan tindakan di luar prosedur. Misalnya, ucap Kalla, meminta aparat mengurangi tuntutan atau hukuman. "Masyarakat harus terbuka juga," ujarnya.
Wapres menilai pemerintah belum akan membuat aturan semisal peraturan pengganti undang-undang untuk memberi sanksi khusus kepada aparat penegak hukum yang melanggar. Pasalnya, sudah ada undang-undang yang mengatur. Di sisi lain, hakim pun akan mengambil keputusan yang terbaik berdasarkan aturan yang sudah ada. "Belum perlu perpu, karena sudah ada ketentuannya," tutur Kalla.
Terkait dengan hakim yang terjerat kasus korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi sudah menetapkan Ketua Pengadilan Negeri Kepahiang Janner Purba dan hakim Toton sebagai tersangka kasus suap. Tiga orang lain yang juga menjadi tersangka kasus penyuapan adalah panitera Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Kepahiang, Badarudin; mantan Wakil Direktur Rumah Sakit Umum Daerah M. Yunus, Edy Santoni; dan mantan Kepala Bagian Keuangan RSUD M. Yunus, Syafei Syarif.
Selain menyelidiki kasus itu, KPK tengah mengusut kasus suap di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dalam kasus itu, Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi Abdurachman diduga terlibat.
ADITYA BUDIMAN