TEMPO.CO, Jakarta - Komunitas Arus Pelangi, salah satu komunitas lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) turut memperingati 18 tahun reformasi yang diprakarsai Gema Demokrasi. Sekretaris Jenderal Arus Pelangi, Ryan Korbarri, sesekali berorasi di atas mobil pikap sambil mengibarkan bendera pelangi sebagai lambang komunitasnya.
Ryan mengatakan Komunitas Arus Pelangi ikut peringatan 18 tahun reformasi karena menganggap kebebasannya dalam berekspresi, berkumpul, dan berserikat dibatasi negara. "Dua bulan lalu kami dianggap musuh negara dan banyak acara kami dibubarkan," kata Ryan kepada Tempo di depan Istana Negara, Jakarta, Sabtu, 21 Mei 2016.
Ia bercerita saat itu komunitasnya menyelenggarakan sebuah diskusi Justice for LGBT di Hotel Cemara, Jakarta. Rencananya acara tersebut diadakan selama sepekan.
Namun, acara terhenti pada hari ketiga karena kepolisian mendapat pengaduan dari Front Pembela Islam yang terganggu dengan acara tersebut. "Polisi memaksa pihak hotel menghentikan seluruh kegiatan kami," katanya.
Ia berharap pemerintah tidak memberikan batasan atau larangan berdiskusi, berekspresi, dan mengemukakan pendapat. Menurut dia, seorang dengan LGBT bisa diakui haknya dan sama dengan hak warga negara lain. "Sudah masa reformasi, kami merasa ditekan. Kami bagian dari warga Indonesia dan menuntut hak yang sama. Tidak didiskriminasi dan tidak distigmatisasi," katanya.
Sedangkan Direktur Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Bahrain, menyatakan pemerintah seharusnya memberi ruang kepada warga negaranya yang LGBT, bukan malah membuang atau menghukumnya. "Malah harusnya dibukakan ruang agar mereka bisa berkembang sesuai dengan potensinya," kata Bahrain.
Massa yang tergabung dalam Gema Demokrasi memperingati 18 tahun reformasi. Aksi ini bertujuan mengevaluasi enam tuntutan gerakan mahasiswa yang dibacakan di pengujung era Orde Baru yang ditandai dengan lengsernya Soeharto.
ARKHELAUS W.