TEMPO.CO, Bandung - Hari Buku Nasional yang jatuh hari ini, Selasa, 17 Mei 2016, diperingati dengan sunyi di perpustakaan milik sastrawan Ajip Rosidi. Perpustakaan yang terletak di Jalan Garut, Bandung ini sepi pengunjung.
Saat Tempo datang, tak ada satu pengunjung pun yang mampir ke sana. Penjaga perpustakaan, Arif Saeful, 30 tahun, mengatakan nyaris tidak ada masyarakat di sekitar Kota Bandung yang menyempatkan dirinya membaca buku di sana. "Minim sekali minat baca masyarakat sekarang ini," kata Arif saat ditemui Tempo di ruangan perpustakaan Ajip Rosidi.
Bahkan, kata dia, warga di sekitar Jalan Garut tak banyak yang tahu bangunan tua itu adalah perpustakaan. "Kami sempat melakukan survei kepada masyarakat sekitar tentang keberadaan perpustakaan Ajip Rosidi, ternyata mereka tidak tahu. Padahal lokasinya strategis, plangnya juga besar," ujar Arif.
Arif berkisah, setiap hari pengunjung yang datang ke perpustakaan Ajip Rosidi hanya sekitar lima orang saja. Itu pun orang yang datang ke sana lantaran perlu mencari naskah untuk menyelesaikan tugas kuliah, seperti tesis atau disertasi. "Kebanyakan mereka sedang melakukan penelitian. Kalau sekadar mengisi waktu luang enggak ada," ujarnya.
Saat ini, kata Arif, anggota resmi perpustakaan Ajip Rosidi berjumlah 56 anggota. Padahal perpustakaan yang diberi nama dari salah satu tokoh sastrawan Tanah Air, Ajip Rosidi, itu berdiri sudah sekitar satu tahun lalu. Koleksi pribadi buku Ajip Rosidi banyak mengisi rentetan rak-rak buku yang berbaris memanjang di ruangan itu. Selain itu, keunggulan perpustakaan Ajip Rosidi adalah menjadi tempat yang tepat bagi para pembaca yang senang mengkaji kebudayaan Sunda.
Deretan manuskrip naskah-naskah Sunda kuno memang terbilang cukup lengkap di perpustakaan itu. Mulai Kawih Paningkes hingga Pustaka Pararatwan I Bhumi Jawadwipa mengisi etalase yang berjejer di ruangan perpustakaan itu. Namun, ketika Tempo menyusuri etalase yang menyimpan sekitar puluhan ribu buku yang terpajang di ruangan itu, debu menyelimuti rentetan buku tersebut.
Akademisi Universitas Pasundan, Kota Bandung, Hawe Setiawan, mengatakan cukup miris dengan kondisi itu. Apalagi menyimak kabar yang tengah viral beredar di media massa saat ini ihwal pelarangan peredaran buku-buku berbau komunis. Buku berlabel kiri itu memang tengah menjadi sorotan setelah aparat Kepolisian Republik Indonesia dan Tentara Nasional Indonesia melakukan razia terhadap buku itu di beberapa daerah. "Hari Buku Nasional ini seharusnya diisi dengan membaca buku, bukannya malah memberangus buku," ujarnya.
"Saya mikirnya sederhana, kalau enggak ada buku kiri, bagaimana buku kanan bisa dikukuhkan, sehingga sebagian pembaca yang ingin menempati tengah pun jadi susah," kata Hawe. "Pelarangan ini menjadi semacam kecemasan berlebihan yang timbul dari sebagian orang yang kehilangan daya persuasi gagasan-gagasan mereka," tuturnya.
Hawe pun menyesalkan pernyataan pelaksana tugas Ketua Perpustakaan Nasional (Perpusnas) Dedi Junaidi yang mendukung pemberangusan buku-buku yang dilabeli kiri itu. Seharusnya, kata dia, pustakawan harus bisa mengambil jarak dari dinamika politik yang terjadi.
"Saya sungguh prihatin dengan apa yang dibacakan Perpus Nasional yang mendukung pemberangusan buku kiri. Padahal baik kiri maupun kanan itu tetap harus disimpan. Selain sebagai storage, dia menjadi katalisator kebudayaan," katanya.
AMINUDIN A.S.