TEMPO.CO, Jakarta - Kepolisian Resor Ternate resmi menahan dan menetapkan aktivis Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Maluku Utara, Adlun Fiqri dan Supriyadi Sawai, sebagai tersangka. Keduanya ditangkap polisi pada Selasa, 10 Mei 2016, karena mengoleksi buku berbau paham kiri dan memiliki kaus dengan tulisan PKI, yang merupakan singkatan Pecinta Kopi Indonesia.
“Karena ada lambang palu-arit, menyebarkan paham komunisme, Marxisme, dan Leninisme,” kata Kepala Kepolisian Daerah Maluku Utara Brigadir Jenderal Zulkarnaen saat dikonfirmasi melalui sambungan telepon, Sabtu, 14 Mei 2016.
Mengenai kapan dan apa dasar penetapan keduanya menjadi tersanka, Zulkarnaen enggan menjelaskannya. Panggilan telepon dari Tempo ia matikan. Pesan singkat pun tidak dibalas. Namun kata-kata terakhir yang ia sampaikan adalah kekhawatiran. “Saya khawatir dengan negara ini,” ucapnya.
Adlun, 20 tahun, dijemput empat tentara dari Unit Intel Kodim 1501 Ternate yang berpakaian sipil di kantor AMAN, Tanah Raja, Kecamatan Ternate Tengah, Kota Ternate, pada Selasa, 10 Mei 2016, pukul 23.00 WIT. Penjemputannya bermula pada penemuan kaus yang dimiliki mahasiswa Politeknik Kesehatan Ternate yang dianggap berbau unsur paham komunisme.
Adlun kemudian dibawa ke Markas Kodim 1501 Ternate untuk diinterogasi. Setengah jam kemudian, kamarnya digeledah Intel Kodim. Dari dalam kamarnya, beberapa buku, kaus, serta sebuah laptop dibawa tentara. Tak lama kemudian, giliran Supriyadi, 24 tahun, yang ditangkap.
Tentara juga sempat menangkap dua aktivis lain, yaitu Muhammad Yunus Alfajri dan M. Radju Drakel. Pada Rabu, 11 Mei 2016, empat aktivis AMAN itu diserahkan ke Polres Ternate untuk dimintai keterangan.
FRISKI RIANA | BUDHY NURGIANTO