TEMPO.CO, Mataram - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam dan Energi Nusa Tenggara Barat (NTB) mencatat banyak perusahaan pertambangan yang beroperasi di daerah itu yang bermasalah, atau yang disebut dengan kategori non clear and clean.
Koalisi terdiri dari Solidaritas Masyarakat untuk Transparansi (SOMASI) NTB, Lembaga Studi Bantuan Hukum NTB, Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) NTB, Rinjani Institute, Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) NTB, Jaringan Masyarakat Sipil (JMS) Lombok, dan Publish What You Pay (PWYP) – Indonesia.
Peneliti SOMASI NTB Dwi Arie Santo memaparkan, dari 155 perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) mineral dan batubara, 117 di antaranya menunggak iuran tetap senilai Rp 28,2 milar selama periode 2013-2015. Sedangkan 99 persen tidak memenuhi kewajiban reklamasi pasca tambang.
Perusahaan-perusahaan itu, selain memiliki IUP, juga kontrak karya di kawasan hutan lindung seluas 5.561,35 hektare dan kawasan hutan konservasi 189.410,53 hektare. “Kami mendesak Kementerian ESDM menindak tegas perusahaan pertambangan yang bermasalah,” kata Dwi mewakili Koalisi, Kamis, 28 April 2016.
Menurut Dwi, Kementerian ESDM bisa menggunakan kewenangan berdasarkan pasal 152 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang mineral dan batubara. Selain itu Gubernur NTB didesak untuk menindaklanjuti Peraturan Menteri ESDM Nomor 43 Tahun 2015 untuk mencabut IUP perusahaan pertambangan yang masuk kategori non clear and clean, paling lambat 12 Mei 2016.
Koalisi juga mendesak Pemerintah Provinsi NTB segera menagih semua kewajiban keuangan perusahaan yang belum dibayar. Selain itu, segera menertibkan IUP dan Kontrak Karya yang masuk ke dalam kawasan hutan konservasi dan hutan lindung.
Dwi mengatakan, Pemerintah Provinsi NTB melalui pejabat pengelola informasi dokumentasi (PPID) harus membuka akses informasi terkait data pertambangan. Hal itu sesuai amanat Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. “Pemerintah Provinsi NTB harus membentuk Forum Pengawasan Sektor Pertambangan dengan melibatkan masyarakat sipil, termasuk menolak izin penambangan pasir laut di NTB,” ujarnya.
Wakil Gubernur NTB Muhammad Amin mengatakan, akan terus melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan kewajiban seluruh perusahaan pertambangan pemegang izin energi dan sumber daya mineral. “Kewajiban kepada negara maupun daerah,” ucapnya.
Amin berharap sinkronisasi pusat dan daerah. Bukan hanya dalam hal program, tapi juga yang berkaitan dengan regulasi. Sinkronisasi sangat penting guna tercapainya keberhasilan pelaksanaan pengelolaan energi dan sumber daya mineral di Provinsi NTB.
SUPRIYANTHO KHAFID