TEMPO.CO, Bekasi - Keluarga Kapten Moch. Ariyanto Misnan, 22 tahun, semakin tak tenang, seusai kelompok militan Abu Sayyaf melakukan eksekusi terhadap sanderanya asal Kanada. "Takut anak menjadi korban," kata Melati Ginting, 52 tahun, saat dihubungi wartawan, Selasa, 26 April 2016.
Kapten Ariyanto disandera pembajak di perairan antara Filipina dan Malaysia pada Jumat, 15 April 2016, bersama dengan tiga anak buah kapal tug boat Henry. Sampai sekarang, keluarga mengaku belum mendapat kepastian perihal kondisinya di Filipina.
Melati menuturkan, setiap hari ia mencari informasi perkembangan proses pembebasan sandera melalui media online, cetak, dan elektronik. Bahkan, ketika ia mengetahui eksekusi yang dilakukan oleh kelompok militan Abu Sayyaf terhadap sanderanya, Melati langsung syok di depan televisi. "Saya takut, langsung lemas," kata perempuan lima anak ini.
Karena itu, keluarga meminta pemerintah Indonesia segera membebaskan para sandera asal Indonesia, termasuk Kapten Ariyanto. Sebab, para sandera juga meminta uang tebusan setara Rp 14,5 miliar. Ia khawatir, apabila tebusan itu tak terealisasi, sandera menjadi korbannya. "Saya berharap Presiden turun tangan," kata warga Perumahan Taman Narogong, Bekasi ini.
Melati mengaku setiap hari merasa deg-degan, jantungnya berdebar begitu memikirkan nasib anaknya yang ditawan kelompok militan di Filipina. Tak jarang ia selalu menangis hingga air matanya kering. "Setiap hari kepikiran anak, adiknya yang kecil sampai murung," ucap Melati.
Kapal berbendera Indonesia kembali dibajak oleh militan bersenjata Filipina di perairan perbatasan antara Filipina dan Malaysia pada 15 April lalu. Dari sepuluh anak buah kapal, empat di antaranya masih disandera. Penyandera diduga dari kelompok militan Abu Sayyaf. Sebelumnya, sepuluh warga Indonesia yang juga disandera oleh kelompok Abu Sayyaf pada 26 Maret lalu, hingga kini belum juga dibebaskan.
ADI WARSONO