TEMPO.CO, Lumajang - Dua terdakwa anak dalam kasus penganiayaan aktivis antitambang Salim Kancil terancam hukuman maksimal sepuluh tahun penjara. Hal ini dikatakan Kepala Seksi Pidana Umum Kejaksaan Negeri Lumajang Mochamad Naimullah, Senin, 25 April 2016.
Menurut Naimullah, terdakwa berinisial I dan A, sesuai dengan ketentuan hukuman anak di bawah umur, besarnya adalah setengah dari hukuman orang dewasa. Pembacaan tuntutan atas dua terdakwa itu dibacakan di Pengadilan Negeri Surabaya, Selasa, 24 April 2016.
Dalam nota dakwaan, I dan A dijerat Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang pembunuhan berencana. "Kalau dikenakan Pasal 340 KUHP, ancaman maksimal 20 tahun. Kalau setengahnya berarti maksimal sepuluh tahun," katanya.
Naimullah menuturkan saat penyerahan tahap kedua, terdakwa ditahan di Unit Pelaksana Teknis Rehabilitasi Sosial Surabaya di Jalan Dukuh Kupang. Tempat tersebut merupakan penampungan bagi anak-anak di bawah umur yang terkena masalah hukum.
Kejaksaan Lumajang, kata dia, sebelumnya juga telah melakukan pembinaan melalui Unit Bimbingan Anak. Adapun saat disidik polisi, keduanya juga ditangani Unit Perlindungan Anak.
Rekan Salim Kancil yang selamat dari penganiayaan, Tosan, menilai terdakwa tidak hanya sekadar ikut-ikutan mengeroyok dan menganiaya. Tosan berharap ada pembinaan terhadap mereka agar perilakunya tidak membahayakan. "Ibarat orang mabuk, kalau tidak dibina, perilaku anak-anak ini bisa ditiru oleh anak-anak lainnya," kata Tosan.
Dalam kasus di Desa Selok Awar-awar, September tahun lalu, Salim Kancil dan Tosan, menjadi korban penganiayaan. Salim Kancil ditemukan tewas di jalan dekat makam desa. Sedangkan Tosan mengalami luka serius dan menjalani operasi di Rumah Sakit Saiful Anwar Kota Malang.
Dalam tindak pidana tersebut, puluhan orang menjadi terdakwa, termasuk Kepala Desa Hariyono yang diduga sebagai otak penganiayaan. Hariyono juga menjadi terdakwa dalam perkara penambangan ilegal di Pantai Watu Pecak serta tindak pidana pencucian uang.
DAVID PRIYASIDHARTA