TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Badan Penanggulangan Terorisme Komisaris Jenderal Tito Karnavian mengatakan sudah saatnya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme direvisi. Sebab, undang-undang ini hanya penguat Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2002 yang dikeluarkan untuk mengatasi kasus Bom Bali dan tidak memuat unsur pencegahan.
Tito menambahkan, keadaan saat ini sudah berbeda karena terorisme telah berkembang di Indonesia. Karena itu, undang-undang yang ada sekarang perlu direvisi dengan memasukkan unsur-unsur pencegahan aksi teror.
"Sekarang kami paham ada kaitan internasional dan faktor ideologi radikal. Kalau tidak merevisinya, akan rugi," kata Tito dalam seminar “Radikalisasi dan Terorisme dalam Perspektif NKRI” di gedung Nusantara I, MPR/DPR, Jakarta, Kamis, 21 April 2016.
Perpu Nomor 1 Tahun 2002 keluar karena tekanan dari dalam dan luar negeri. Ledakan Bom Bali menimbulkan kemarahan publik sehingga membuat Perserikatan Bangsa-Bangsa mengeluarkan resolusi khusus yang meminta pemerintah mengungkap pelakunya.
Karena itu, Perpu hanya berisikan instrumen untuk penegakan hukum, seperti menangkap pelaku dan membawanya ke peradilan. "Saat itu kami tidak tahu pelakunya, motifnya, dan lainnya," tuturnya.
Tito meminta dalam revisi undang-undang dimuat hukuman terhadap proses radikalisme sebagai bentuk pencegahan. Ia mencontohkan perlunya hukuman terhadap pelaku latihan militer di luar negeri.
Undang-undang yang ada saat ini tidak memuat kriminalisasi untuk proses radikalisme. Padahal, kata Tito, aksi teror hanyalah puncak gunung es dari proses tersebut.
AHMAD FAIZ