TEMPO.CO, Semarang - Ritual Kamis Putih di Gereja Stasi Maria Assumpta Paroki Girisonta di Dusun Glodogan, Kelurahan Harjosari, Kecamatan Bawen, Kabupaten Semarang, pada Kamis, 24 Maret 2016, berbeda dari biasanya. Bahkan hampir dipastikan tidak ada gereja yang menerapkan prosesi pembasuhan kaki seperti yang dilakukan gereja yang memiliki 1.500 jemaat itu.
Setelah homili, Romo Agustinus Setyodarmono memutarbalikkan skenario yang sudah dirancang oleh panitia Pekan Suci Paskah. Semula panitia sudah berusaha membuat pembasuhan kaki lebih transformatif seperti yang dilakukan oleh Paus Fransiskus. Direncanakan oleh panitia, Romo Nano memilih sendiri 12 umat yang hadir untuk dibasuh kakinya. Jumlah 12 merujuk pada jumlah rasul atau murid Yesus. Biasanya 12 orang yang dibasuh kakinya sudah ditentukan sejak awal.
"Maksud kami memberikan kejutan kepada jemaat karena bisa mengikuti pembasuhan kaki, tetapi ternyata Romo Nano yang mengejutkan jemaat dan panitia dengan caranya melakukan ritual pembasuhan kaki," ujar Robertus Lilik Siswanto, ketua panitia Pekan Suci Paskah kepada Tempo, Sabtu, 26 Maret 2016.
Dia menceritakan, Romo Nano justru membuat pengumuman kepada jemaat dan mempersilakan 12 orang untuk maju dan memilih orang yang akan dibasuh kakinya. Saat itu Romo juga menekankan kepada jemaat yang ingin membasuh supaya membasuh kaki orang yang pernah menyakiti.
Pembasuhan kaki antara umat dengan umat pun terjadi. Ada tiga tipe jemaat yang melakukan prosesi ini, yakni suami membasuh kaki istri, anak membasuh kaki ayah atau ibunya, dan cucu membasuh kaki nenek.
Prosesi ini diakuinya menjadi bagian yang paling mengharukan. Seorang pemudi bernama Elfrida Petra Widyaningrum, 22, membasuh kaki ayahanya, Theodorus Andreas Surman, 50, yang juga penjaga gereja tersebut.
Surman mengaku tidak percaya dengan yang dilakukan putri sulungnya. Dia tidak menampik jika secara fisik tidak terlalu dekat dengan Petra yang tinggal bersama neneknya selepas istri Surman meninggal. "Saya berusaha perhatian dengan anak saya, tetapi juga karena tidak tinggal bersama terkadang saya merasa bersalah kurang memberi perhatian," ujarnya.
Laki-laki yang juga penjaga SD Kanisius sejak 1994 ini bercerita tidak dapat menahan isak tangis pada saat dibasuh kaki oleh putrinya. "Sampai-sampai anak saya bilang sudah ayah jangan menangis," kata Surman menirukan ucapan Petra kala itu.
Romo Nano yang ditemui seusai memimpin Misa Malam Paskah memandang pembasuhan kaki sebuah momen yang indah dan memperlihatkan kedalaman relasi antara dua orang. "Saya merasa sayang saja kalau hanya saya yang menikmati, semua umat juga berhak menikmati momentum itu," tuturnya.
Dia menilai ada dua nilai yang bisa dipetik dari pembasuhan kaki. Secara psikologis menunjukkan keintiman dan secara kultur sebagai bentuk melayani.
Romo Nano mengaku ini bukan pertama kalinya dia menerapkan pembasuhan kaki semacam itu. "Ini yang kelima kalinya tetapi yang sebelumnya tidak terpublikasikan karena sosial media dan ponsel belum secanggih sekarang," kata Nano. Dia menyebutkan, prosesi pembasuhan kaki antarumat pernah dilakukan antara lain di Muntilan dan daerah Sragen.
Dia mengatakan, cara basuh kaki tersebut keluar dari pakem ritual Katolik. Menurut Romo, cara revolusioner seperti ini tidak masalah. Terlebih, Yesus juga membasuh kaki murid-muridnya padahal budaya ketika itu seharusnya murid yang membasuh kaki guru.
SWITZY SABANDAR