TEMPO.CO, Sofia- Presentasi tiga pembicara asal Indonesia di konferensi internasional “What Values Unite Us Today” di Sofia, Bulgaria, menarik perhatian dari 200-an peserta yang datang dari Eropa, Amerika, Afrika dan Timur Tengah.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan, Hermien Y. Kleden, Pemimpin Redaksi Tempo English – mingguan Tempo berbahasa Inggris – dan Hafid Abbas, Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM), menjadi pembicara dalam tiga panel berbeda pada Jumat, 11 Maret 2016.
Berlangsung di Hotel Sofia Balkan, konferensi ini digelar selama dua hari 11-12 Maret hasil kerja sama The Geneva Spiritual Appeal yang berbasis di Jenewa, Swiss, serta Public Policy Institute, Sofia, Bulgaria dan The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), lembaga khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mengurusi pendidikan, sains dan kebudayaan.
Presentasi Anies tentang kebhinekaan Indonesia dari segi bahasa, etnik, kebudayaan mendapat serbuan pertanyaan dari peserta terutama dari para akademisi, pemimpin agama, sejumlah filsuf Eropa dan Timur serta media setempat. Anies mengatakan salah satu pengalaman Indonesia yang amat spesifik dan dapat dibagikan kepada Bulgaria, Eropa, mau pun benua-benua lain dalam hal menyatukan sebuah negeri dengan keragaman luarbiasa.
"Negeri kami punya 300 bahasa dan dialek, namun kami bersetuju menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu pada 1928, bertahun-tahun sebelum kami merdeka," ujar Anies yg disambut tepuk tangan meriah.
Anies menambahkan, bahasa yang dipilih justru bukan bahasa yg paling banyak digunakan, melainkan diambil dari lingua franca Melayu yg menumbuhkan rasa bahasa yang egaliter.
Hermien Y. Kleden dari Tempo membawakan topik Challanges in Indonesia: An Investigative Report Overview. Menurut Hermien, salah satu cara perlawanan Tempo terhadap penguasa yang represif di Era Orde Baru adalah melakukan demiliterisasi dan debirokratisasi bahasa. “Kami sedapat-dapatnya menolak penggunaan akronim, menolak penggunaan bahasa birokratis dan militeristis. Yang kami lakukan adalah semacam linguistic liberation.”
Mengaitkan peran media dalam reformasi politik Indonesia, Hermien menambahkan bahwa Tempo – sebagai mendia independen -- mendukung kepemimpinan sipil. “ Tapi secara etis, kami tidak bisa mencalonkan nama-nama calon pemimoin,” kata dia. “Tapi kami memberi kontribusi dengan cara lain kepada publik. Misalnya, melalui laporan-laporan khusus Tempo tentang kinerja para kepala daerah terbaik, atau penegak hukum terbaik,” kata dia.
Pembicara Indonesia di panel terakhir pada Jumat 11 Maret adalah Hafid Abbas, Komisioner Komnas HAM. Dia tampil bersama antara lain, Jeffrey Newman, seorang rabi reformis dari London serta Michael Veuthey, dari International Institute of Humanitarian Law, Jenewa.
Hafid membagi pengalamannya di bidang pemajuan dan penegakan hukum dan hak asasi di tanah air. “Dalam perjalanan 18 tahun reformasi, banyak kemajuan – yang sebelumnya tidak terbayangkan bisa dicapai,” ujar Hafid yang mencontohkan tekanan-tekanan politik dalam masa Orde Baru. “ Kini, hal yang biasa di negeri kami, melihat menteri atau pejabat tinggi lain digiring ke penjara karena kasus-kasus korupsi,” dia menambahkan.
Hafid Abas, mantan Dirjen HAM dan Ketua Komnas HAM, kerap diundang oleh forum-forum internasional untuk membahas isu-isu HAM dan penegakan hukum di Indonesia.
ERWIN ZACHRI (SOFIA, BULGRIA)