Iklan
TEMPO Interaktif, Jakarta: Isu kepemilikan stasiun Global TV yang banyak diberitakan media akhir-akhir ini memiliki makna serius dalam proses demokratisasi penyiaran. Meski mungkin secara samar-samar, terangkat gambaran bahwa ada pelanggaran hukum dalam proses perkembangan Global TV sejak kelahirannya pada 1999. Terdapat tiga isu yang saling terkait. Pertama, terungkap bahwa pemberian izin bagi Global TV pada 1999 tidak berlangsung secara obyektif. Kedua, setelah diperoleh, izin tersebut kemudian dijual kepada pihak lain. Ketiga, si pemilik baru lantas mengubah secara frontal format isi yang semula dirancang si pemilik lama. Karena rangkaian persoalan ini, sebagian pihak meminta izin siaran Global TV dicabut saja untuk ditawarkan kepada pihak yang berminat lainnya. Global TV memperoleh izin pada masa kepresidenan Habibie. Ketika itu, dalam konteks menggebunya semangat demokratisasi, pemerintah Habibie membuka kesempatan bagi kelahiran lima stasiun televisi baru untuk bersaing dengan lima stasiun televisi nasional yang telah ada. PT Global Informasi Bermutu (GIB) adalah salah satu peminat yang maju dengan konsep stasiun televisi untuk misi syiar Islam dan pendidikan. Ada semacam semangat dari para tokoh Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) yang berada di belakang gagasan itu bahwa mereka hendak mengembangkan sebuah stasiun televisi yang akan membawa umat Islam siap dan berjaya memasuki era globalisasi. Versi resmi pemerintah ketika itu menyatakan, setelah melalui proses penyeleksian obyektif yang dilakukan tim Departemen Penerangan dan Departemen Perhubungan, Global TV dianggap layak memperoleh salah satu izin dengan menyisihkan sejumlah peminat lainnya. Baru sekarang terungkap bahwa Global TV diuntungkan dalam proses penyaringan tersebut karena adanya "surat-surat sakti" yang melibatkan kalangan terdekat Habibie. Dalam retrospeksi, kita mungkin akan mengatakan bahwa sebenarnya sebuah ide pendirian televisi yang berorientasi pada muatan pendidikan dan kebudayaan sangat layak didukung oleh pemerintah mana pun. Masalahnya, ambisi muluk itu sebenarnya tak memiliki basis kukuh. Satu tahun setelah mengantongi izin--tenggat yang ditetapkan UU Penyiaran 1997--Global TV tidak sanggup untuk mulai bersiaran dengan format yang semula direncanakan. Persoalan utama GIB adalah modal yang semula diharapkan tak kunjung terwujud. Ketika mengajukan permohonan izin, para pendiri GIB ternyata belum memiliki sumber daya yang dibutuhkan untuk mengoperasikan sebuah stasiun televisi nasional. Dengan izin di kantong, semula rupanya dibayangkan suntikan modal akan dengan sendirinya berdatangan. Namun, harapan itu ternyata cuma mimpi kosong. Realitasnya adalah tidak ada yang percaya sebuah stasiun televisi Islam akan bisa hidup di tengah masyarakat Indonesia. Pada tahap itu, idealnya GIB mengembalikan izin frekuensi tersebut. Mengingat frekuensi siaran sebenarnya milik publik yang dipinjamkan sementara, GIB tidak boleh memperlakukan izin penggunaannya sebagai hak milik permanen. Tatkala pihak yang diberi kepercayaan ternyata tidak sanggup memenuhi kontrak dan rencana yang dijanjikan, frekuensi tersebut seharusnya dikembalikan kepada pemiliknya, yakni masyarakat. Setelah itu, baru frekuensi tersebut kembali terbuka untuk ditawarkan kepada pihak lain. Itu tidak terjadi pada Global TV. Setelah terbukti rencana semula gagal, para pendiri GIB memutuskan "menjual" izin tersebut kepada Bimantara. Tepatnya, bukan izin tersebut yang diperjualbelikan, melainkan saham perusahaan GIB diambil alih oleh Bimantara, sehingga izin penggunaan tersebut kemudian dikuasai Bimantara. Dengan kata lain, izin frekuensi tersebut tetap dipegang oleh GIB, tapi pemilik perusahaan tersebut sudah berubah. Pembelian saham tersebut tentu tidak melanggar hukum di Indonesia. UU Penyiaran 1997 yang ketika itu berlaku hanya melarang pemindahtanganan izin. Namun, sebenarnya ada pelanggaran prinsipiil. Izin bagi Global TV dikeluarkan karena stasiun tersebut memposisikan diri sebagai televisi pendidikan dan kebudayaan. Ketika kepemilikannya berubah, isinya pun ternyata berubah 180 derajat. Ironi terbesarnya adalah stasiun televisi yang semula berencana menjadi media Islam berkembang menjadi stasiun yang (pernah) 24 jam membawa program MTV! Jadi cacatkah Global TV? Sangat mungkin jawabannya ya. Namun, bila karena proses tersebut Global TV sekarang harus kehilangan haknya atas izin menggunakan frekuensi, banyak hal yang harus dipertimbangkan. Yang terpenting adalah kasus Global TV tidak bisa dipandang sebagai kasus tersendiri karena pada dasarnya ia adalah bagian sah dari kekarutmarutan sistem penyiaran di bawah kendali pemerintah selama berpuluh tahun. Dalam sistem ini, pemerintah memang tidak pernah membangun kerangka kebijakan penyiaran yang jelas. Dalam hal pemberian izin siaran, pemerintah memang tidak pernah menerapkan kebijakan transparan, obyektif, dan berorientasi pada kepentingan publik. Dalam kekacauan itu, izin siaran memang diperlakukan sebagai komoditas yang lazim diperjualbelikan dengan harga tinggi--sebuah praktek yang melibatkan banyak oknum pemerintah dan juga industri. Rangkaian "cacat" Global TV juga menimpa stasiun televisi dan radio lain. Sejarah pertelevisian swasta Indonesia dicirikan oleh kehadiran pemerintah yang senantiasa siap melayani kehendak dan kepentingan para pemilik stasiun televisi. RCTI misalnya, menjadi stasiun televisi swasta pertama tanpa proses seleksi. Ia semula lahir pada 1989 dengan izin sebagai sebuah stasiun televisi berlangganan (pay-TV) yang hanya dapat ditangkap oleh penonton di Jakarta. Namun, dalam dua tahun, kebijakan pemerintah berubah dua kali: pertama (1990), pemerintah mengizinkan siaran RCTI dapat ditangkap secara bebas di seluruh Jakarta; kedua (1991), pemerintah mengizinkan siaran RCTI menjangkau semua penonton Indonesia melalui satelit Palapa. Begitu juga TPI. Pada awalnya, ia mengantongi izin sebagai stasiun televisi yang bertujuan membantu Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menjangkau anak didik di seluruh Indonesia melalui medium televisi. Karena misi mulianya itu, sejak awal, TPI dapat bersiaran nasional dengan memanfaatkan segenap infrastruktur penyiaran yang dimiliki TVRI. Namun, hanya dalam beberapa tahun, kita tahu TPI tidak lagi menyajikan program-program pendidikan instruksional yang semula wajib dilakukannya--atas izin pemerintah, tentu saja. Ada begitu banyak ilustrasi lain yang bisa disajikan di sini. Namun, yang terpenting adalah penataan sistem penyiaran Indonesia memang mengandung banyak cacat, dan Global TV sekadar menjadi pemain yang memanfaatkan kekacauan tersebut. Bila izin Global TV hendak ditinjau kembali, hal serupa harus diberlakukan pada semua stasiun televisi dan radio swasta di Indonesia. Celakanya, saat ini pemerintah sudah mengeluarkan Peraturan Pemerintah tentang Lembaga Penyiaran Swasta (Nomor 50 Tahun 2005) yang sangat berpotensi melanggengkan kekacauan tersebut. Dalam peraturan tersebut, termuat ketentuan bahwa semua stasiun televisi nasional yang ada hanya perlu melapor kepada menteri untuk menyesuaikan izin yang mereka pegang menjadi izin penyelenggaraan penyiaran sesuai dengan UU Penyiaran 2002. Dengan kata lain, atas restu menteri, warisan kekacauan di masa lalu itu bisa saja bertahan dan menjadi permanen!Ade Armando, Anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)Artikel ini juga bisa dibaca di Koran TEMPO, 6 Maret 2006