TEMPO.CO, Bogor - Wali Kota Bima Arya Sugiarto kembali membuat kontroversi dengan menghadiri peresmian kantor Hizbut Tahrir Kota Bogor pada Senin, 8 Februari 2016. Foto saat ia pidato menyebar di media sosial dan pesan berantai. Banyak yang mengecam kehadirannya, mengingat organisasi ini hendak mendirikan Khilafah Islamiyah dan menolak Pancasila sebagai asas tunggal.
BACA: Wali Kota Bogor Resmikan Kantor Organisasi Anti-Pancasila
Bima sadar keputusannya menghadiri peresmian itu membuat publik bertanya-tanya. “Langkah saya memang tidak linear dengan logika umum yang menyimpulkan datang sama dengan mendukung,” katanya kepada Bagja Hidayat dari Tempo pada Kamis, 11 Februari 2016.
Politikus Partai Amanat Nasional ini sengaja hadir untuk menyatakan ketidaksetujuannya pada ideologi Hizbut Tahrir. “Dan itu saya sampaikan secara terbuka di hadapan orang banyak dalam acara itu,” ujarnya. Berikut ini penjelasan lengkap Bima Arya.
Aww wr.wb, Salam Sejahtera.
Soal kedatangan saya menghadiri undangan HTI Bogor, ada beberapa pertanyaan di media sosial dan grup-grup chat, kenapa datang?
Bagi saya, pemimpin harus mengayomi dan merawat silaturahmi. Perbedaan keyakinan, agama, cara pandang, politik, tak boleh jadi hambatan untuk silaturahmi. Saya berbeda pendapat dengan kawan-kawan Hizbut Tahrir Indonesia, termasuk soal Khilafah serta cara pandang terhadap agama dan negara. Saya banyak tidak sependapat dengan konsep manifesto Khilafah Hizbut Tahrir. Ini sy sampaikan secara terbuka di hadapan orang banyak dalam acara Hizbut Tahrir, pada 8 Februari 2016 di Bogor.
Bagi saya, Bima Arya, NKRI, Pancasila sudah final, ini harga mati, dan pendirian saya soal ini tidak akan berubah sampai kapanpun. Saya juga tidak setuju dengan kelompok-kelompok yang mencoba-coba memecah-mecah NKRI, mengganti Pancasila, sampai kapanpun.
Tapi saya lihat, ada juga persamaan semangat soal melihat musuh bersama seperti korupsi, kemiskinan, pengangguran, HIV AIDS, kriminalitas, dll. Saya mengajak HTI untuk fokus pada program penyelesaian persoalan-persoalan yang dihadapi rakyat , karena pada aspek ideologi sudah selesai, pancasila dan NKRI harga mati.
Pekerjaan rumah kita meringankan beban masyarakat belum tuntas kita kerjakan. Perbedaan adalah keniscayaan. Tapi kebersamaan harus diperjuangkan. Kita masih harus terus belajar dari pendiri bangsa ini untuk mengelola perbedaan, dan mengedepankan kebersamaan, karena pemerintah tidak bisa sendiri menyelesaikan persoalan.
Saya berterima kasih atas kritik dan koreksi yang disampaikan pada saya, saya percaya, ini bagian dari proses dialektika menuju Indonesia yang lebih maju.
Salam hormat dari saya,
Bogor, 10/02/2016
Bima Arya
Wali Kota Bogor