TEMPO.CO, Jakarta - Juru bicara Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), Yendra Budiana, mengatakan pengusiran jemaat Ahmadiyah di Kelurahan Srimenanti, Kabupaten Bangka, Bangka Belitung, berawal dari kesulitan jemaat mendapatkan Kartu Tanda Penduduk (KTP).
"Awalnya dari masalah KTP, kemudian beralih ke isu Ahmadiyah melanggar Surat Keputusan Bersama Menteri dan disebut meresahkan," katanya saat konferensi pers di Hotel Lynt, Petojo, Jakarta, pada Senin, 8 Februari 2016.
Yendra mengatakan jemaat Ahmadiyah di Kelurahan Srimenanti kesulitan mendapatkan KTP sejak setahun lalu. Menurut Yendra, lurah setempat tak bisa mengeluarkan KTP karena ada tekanan dari kelompok masyarakat. "Saya juga tidak tahu mereka siapa," katanya.
Setelah kesulitan mendapatkan KTP, jemaat Ahmadiyah pun kesulitan tinggal di tempatnya sendiri. Mereka diminta angkat kaki dari Srimenanti oleh Bupati Bangka Tarmizi H. Saat.
Menurut Yendra, Bupati Tarmizi bersama dengan Sekretaris Daerah Bangka Fery Insani, Komandan Distrik Militer Bangka Letnan Kolonel Infanteri Utten Simbolon, serta ormas Hizbut Tahrir Indonesia bertemu di Restoran Raja Lait pada Kamis, 4 Februari 2016. Mereka membicarakan ultimatum terhadap Ahmadiyah untuk meninggalkan wilayah Bangka. "Pihak Ahmadiyah tidak mendapat undangan," kata Yendra.
Di hari yang sama, ormas HTI memasang spanduk tentang acara Tablig Akbar penolakan keberadaan Ahmadiyah di Bangka. Rencananya acara digelar pada Jumat, 5 Februari 2016.
Yendra mengatakan Ahmadiyah tak mendapat surat apa pun terkait dengan ultimatum pemerintah agar mereka pergi hingga Jumat, 5 Februari 2016 pagi. Mereka tidak pula bertemu dengan Bupati atau pemerintah.
Baru sekitar pukul 08.40 pagi waktu setempat, Dandim Bangka mendatangi kantor Sekretariat JAI bersama rombongan. "Ia menyatakan mewakili Forum Kerukunan Masyarakat Beragama, meminta JAI bersedia menuruti keinginan pemerintah agar mereka meninggalkan Bangka," kata Yendra.
Terkait dengan permintaan tersebut, pihak JAI meminta surat sebagai pernyataan tertulis. Tujuannya agar JAI dapat merespons melalui tulisan pula. Dandim yang awalnya menolak kemudian setuju. Pertemuan ditunda dari pukul 10.20-11.20 menunggu Dandim berunding.
Selama menunggu, pihak JAI mendapat kabar bahwa Komisi Nasional HAM telah bertemu dengan Bupati Bangka. Mereka sepakat tidak ada pengusiran bagi jemaat Ahmadiyah di Bangka. "Yang ada, pembinaan sebagaimana sewajarnya pemerintah daerah terhadap semua warga negara," kata Yendra.
Seusai berunding, Dandim menyatakan rombongannya mengubah keputusan. Mereka tidak dapat membuat pernyataan ultimatum tertulis dan memilih menyampaikan secara lisan. Pihak JAI kemudian menyatakan bahwa mereka tidak bisa menyikapinya.
Jemaat Ahmadiyah pun menyampaikan bahwa Komnas HAM dan Bupati telah sepakat tidak ada pengusiran ataupun evakuasi. Mereka tetap bisa tinggal di Srimenanti.
Namun pihak Dandim dan rombongan tetap membujuk agar JAI mau pergi. Mereka menyatakan tak tahu perihal pertemuan Komnas HAM dan Bupati Bangka. Perundingan kembali ditunda menunggu salat Jumat usai.
Pertemuan kembali digelar sekitar pukul 14.10 pada Jumat itu. Saat itu, sekelompok massa yang tidak dikenal mulai hadir di lokasi. Pertemuan diakhiri dengan doa bersama. Tak ada kesepakatan di antara keduanya.
Namun tak lama Dandim mendapatkan tekanan dari seseorang, yang disebut Yendra tokoh dari kelompok tertentu. Tim Advokasi untuk Kebhinekaan Indonesia Raya (TAKBIR) menunjukkan videonya. Dalam video, Dandim tampak berdiri dalam lingkaran kecil. Di sebelahnya ada lelaki berambut panjang dan mengenakan peci.
Lelaki tersebut menyatakan, jika jemaat Ahmadiyah tak pergi dari rumah mereka, pihaknya yang akan mengeluarkan barang-barang mereka. Lelaki tersebut juga mengatakan anggotanya siap melakukan aksi kekerasan jika JAI tak kunjung pindah. Sementara itu, jawaban dari Dandim tak terdengar.
Yendra mengatakan lelaki itu tak dikenal warga sekitar Srimenanti. Menurut Yendra, orang itu sempat mengancam akan meratakan rumah jemaat Ahmadiyah jika mereka tak pergi.
Tak lama, polisi wanita mendata ibu dan anak jemaat Ahmadiyah dengan alasan demi standar operasional prosedur (SOP) Kepolisian. Bersama dengan dua jemaat pria, mereka dibawa dengan mobil kendaraan milik JAI ke tempat yang ditentukan JAI. Mereka pergi dengan pengawalan polisi.
Sementara itu, lelaki lain bertahan di Srimenanti. Mereka tinggal di Sekretariat JAI. "Tapi mereka kesulitan bergerak bebas dan normal dengan alasan SOP Kepolisian," kata Yendra. Mereka dibatasi tinggal di Sekretariat dan tidak boleh keluar. Yendra mengatakan makanan pun harus disuplai dari luar.
Dua hari berikutnya, 6-7 Februari, ada seseorang yang datang ke Sekretariat JAI. Mereka meminta jemaat menjual harta serta rumah milik JAI Bangka. Jemaat yang bertahan pun diminta segera keluar dari Srimenanti.
Yendra mengatakan hingga hari ini belum ada kejelasan berupa pernyataan tertulis dari pemerintah kabupaten setelah ultimatum 5 Februari 2016 yang diterima JAI.
Bupati Tarmizi mengakui bahwa dia adalah orang yang memerintahkan untuk mengusir Ahmadiyah dari Bangka. Tarmizi mengatakan bukan pertama kali ini ia meminta masjid Ahmadiyah diratakan dengan tanah.
"Saya ini ngetop di kalangan Ahmadiyah. Saat menjadi Sekda tahun 2010, saya pernah perintahkan untuk menghancurkan masjid Ahmadiyah. Mereka pasti kenal dengan saya. Jadi bukan baru tahu sekarang saat saya minta mereka pindah," ujar Tarmizi kepada Tempo seusai kegiatan rapat koordinasi rencana pemindahan anggota Ahmadiyah di kediaman dinasnya, Rabu malam, 3 Februari 2016.
VINDRY FLORENTIN