TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Dewan Pengurus Daerah Jamaah Ahmadiyah Indonesia Kabupaten Garut, Cecep Ahmad Sentosa, memastikan kondisi di Kampung Nyalindung, Desa Ngamplang, Kecamatan Cilawu, tetap kondusif pasca penyegelan masjid Ahmadiyah oleh Satpol PP pada Selasa malam, 7 Juli 2024. Aktivitas jamaah tetap berjalan normal tanpa gejolak berarti.
“Kami tidak banyak melihat riak-riak apapun. Kami fokus melaksanakan kegiatan kita saja,” kata Cecep saat dihubungi Tempo, Senin, 8 Juli 2024.
Cecep mengungkapkan pihaknya sempat meninjau lokasi kejadian pada Jumat, 5 Juli 2024, atau tiga hari setelah insiden penyegelan masjid. Di Nyalindung, dia tak melihat adanya keluhan maupun protes dari warga setempat. Bahkan, kata Cecep, rombongan Ahmadiyah sempat melaksanakan salat Jumat di salah satu rumah jemaah.
“Jumat tidak ada apa-apa. Biasa, tenang-tenang saja, baik itu dari luar, kami lewat juga biasa,” katanya.
Cecep menjelaskan penyegelan oleh Satpol PP bukanlah yang pertama kali terjadi. Pada 2021, ketika awal-awal masjid ini dibangun, Satpol PP juga sempat menghentikannya. Sejak itu, masjid tak dipakai hingga progres pembangunan berlanjut di akhir 2023. Di akhir tahun tersebut, jemaah Ahmadiyah baru bisa memakai masjid untuk beribadah.
“Tapi setelah itu berhenti lagi karena memang ada pelarangan,” kata Cecep.
Penyegelan masjid Ahmadiyah di Garut dilakukan tim yang menamakan diri Tim Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan dan Aliran Keagamaan dalam Masyarakat (Pakem) Kabupaten Garut. Tim tersebut terdiri dari beberapa instansi pemerintah dan nonpemerintah di Garut, antara lain Kejaksaan Negeri, Polres, Kodim 0611/Garut, Kementerian Agama, Badan Kesbangpol, Satpol PP, Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).
Kepala Seksi Intelijen Kejaksaan Negeri Garut, Jaya P Sitompul, mengatakan penyegelan masjid itu dilaksankan oleh Satpol PP dan Tim Pakem. Dalam keterangan tertulis yang diterima Tempo pada Sabtu, 6 Juli 2024, Jaya menyebut penyegelan masjid kelompok minoritas yang dilakukan pemerintah sebagai “kegiatan pengawasan dan pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama”.
Jaya mengatakan ada sejumlah aturan yang menjadi dasar penutupan rumah ibadah kelompok minoritas tersebut. Di antaranya Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri Nomor 3 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus JAI. Aturan tersebut melarang pemeluk Ahmadiyah menyebarkan agamanya atau melakukan kegiatan keagamaan.
Selain itu, kata Jaya, ada juga Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 12 Tahun 2011 tentang Larangan Kegiatan Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Jawa Barat.
“Termuat pula adanya norma larangan bagi penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah untuk melakukan aktivitas dan/atau kegiatan dalam bentuk apa pun sepanjang berkaitan dengan kegiatan penyebaran penafsiran,” ucap Jaya.
Usama Ahmad Rizal, salah seorang pendamping warga Ahmadiyah di Garut, mengatakan penyegelan masjid Ahmadiyah dilakukan tanpa pemberitahuan sama sekali. “Tanpa ada proses dialog terlebih dahulu sebelumnya dan dilakukan juga pada malam hari,” kata Usama, yang juga Koordinator Solidaritas Jaringan Antarumat Beragama atau Sajajar, melalui sambungan telepon pada Sabtu, 6 Juli 2024.
Usama mengatakan ada sekitar 50 hingga 60 aparat yang dikerahkan saat menyegel masjid Ahmadiyah tersebut. Dia juga mengaku heran dengan alasan pemerintah yang mengatakan ada laporan atau protes dari warga soal keberadaan masjid Ahmadiyah. Sebab, kata Usama, warga Ahmadiyah di Garut selama ini memiliki hubungan baik dengan masyarakat yang tinggal di sekitarnya.
RIO ALPIN | SULTAN ABDURRAHMAN
Pilihan Editor: Pengamat Bilang Peluang Kaesang Lebih Besar di Pilgub Jateng, Ini Alasannya