TEMPO.CO, Sleman - Sebanyak 248 warga eks Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) yang ditampung di Youth Center, Mlati, Sleman, dikarantina, hingga Selasa, 2 Februari 2016. Mereka masih akan diambil pemerintah kabupaten/kota masing-masing, untuk ditempatkan di penampungan lain sebelum dikembalikan ke keluarga.
Keluarga pun belum bisa melakukan penjemputan. Bahkan waktu jenguk hanya diberikan Minggu, 31 Januari, selama 30 menit. "Mereka masih ditampung di Youth Center hingga masing-masing daerah/kota siap. “Juga ada keluarga yang akan dikembalikan ke rumah, namun rumahnya masih rusak," kata Kepala Seksi Bantuan Kesejahteraan Bencana Alam Dinas Sosial DIY Sigit Alfianto, Minggu, 31 Januari 2016.
Baca Juga:
Jumlah pengikut Gafatar yang eksodus ke Kalimantan Barat itu terdiri atas 166 orang asal Sleman, 67 orang asal Kota Yogyakarta, 49 orang asal Bantul, dan 16 orang asal Gunungkidul. Sedangkan dari Kulon Progo nihil. Dari jumlah itu, ada 59 balita, 34 anak-anak, dan 152 orang dewasa. Ada 3 orang perempuan sedang hamil.
Jumlah itu masih akan bertambah. Dari informasi yang diperoleh pemerintah DIY, akan datang lagi 32 orang eks Gafatar dari asrama haji Donohudan, Boyolali. Juga ada lagi 9 orang dari penampungan Dinas Sosial di Jakarta. "Anak-anak diberi trauma healing dan ceria," kata Sigit.
Namun, para orang dewasa, sepertinya sangat apatis saat mengikuti program dan pemberian materi wawasan kebangsaan. Selain kelelahan, mereka tampak enggan menyerap materi-materi yang diberikan para petugas. Bahkan saat diberi hiburan berupa musik organ tunggal, tidak ada yang tertarik melihat atau menikmati. Juga tidak ada yang ikut menyanyi atau berjoget.
Salah satu keluarga yang menjenguk anaknya, adalah Ningsih. Seorang ibu, umur 50-an, warga Caturtunggal, Depok, Sleman. Semula, dia tidak tahu kalau anak, menantu, serta cucu batitanya ikut ke Kalimantan. Sebab, sebelumnya beralasan akan bertani di Godean, Sleman.
Begitu tahu ada berita hilangnya dokter Rica Tri Handayani dan terbongkarnya kamp di Mempawah, keluarga baru tahu, anaknya yang bernama Heru tidak bisa dihubungi. "Waktu baca di media, nama anak saya tercantum. Kami bingung, untung saat ini sudah ketemu," kata perempuan yang jualan makanan di kantin Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada itu.
MUH SYAIFULLAH