TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Komisi Hukum, HAM, dan Keamanan Dewan Perwakilan Rakyat, Arsul Sani, berujar poin perluasan kewenangan yang nantinya akan dimasukkan ke dalam revisi Undang-Undang tentang Tindak Pidana Terorisme seharusnya diberikan kepada Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dan Polri.
"Aparat penegak hukumnya kan itu. Kalau saya, tidak setuju Badan Intelijen Negara diberikan kewenangan melakukan penindakan," ujar politikus dari Partai Persatuan Pembangunan itu di Kompleks Parlemen, Senayan, Kamis, 21 Januari 2016.
Arsul mengatakan BIN hanya boleh melakukan kegiatan intelijen dalam rangka pencegahan tindak pidana terorisme, misalnya melalui kegiatan deradikalisasi. "Kalau ikut menangkap, ya enggak bisa. Kalau BIN bisa menahan, BNPT bisa, Polri bisa, kembali lah kita ke zaman Komkamtib atau Lapsusda dulu," ujar Arsul.
Topik Terkait:
Revisi UU Antiterorisme
Arsul berujar peristiwa bom Sarinah pada 14 Januari kemarin memang menjadi salah satu pemicu bagi aparat penegak hukum untuk merevisi UU Terorisme. "BNPT malah sudah minta dari tahun lalu. Bahwa kemarin terjadi (bom Sarinah), itu momentum lagi untuk menyuarakan segera dilakukannya revisi," katanya.
Pada waktu itu, BNPT juga meminta merevisi pasal-pasal mengenai perluasan kewenangan untuk menindak. "Sekarang ini kan, WNI yang bergabung ISIS enggak bisa ditindak. Itu yang diminta sama mereka," tutur Arsul menambahkan.
Sebelumnya, Kepala BIN Sutiyoso mengusulkan agar lembaga yang dipimpinnya diberi kewenangan lebih untuk menangkap dan menahan terduga teroris. Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Pandjaitan pun menyatakan hal yang sama. Luhut ingin, setelah BIN mendapatkan informasi mengenai dugaan adanya aksi teror, BIN dapat menahan para terduga teroris.
ANGELINA ANJAR SAWITRI