TEMPO.CO, Karubaga - Tokoh umat Muslim Tolikara Provinsi Papua, Ustad Ali Muchtar, memberesi benda-benda yang tergeletak di pojok kanan ruang sembahyang di masjid yang baru dibangun pascakonflik berdarah, 17 Juli 2015. Di sini, ustad tinggal sendirian, sudah sekitar 6 bulan lamanya. Istri dan anak-anaknya dititipkan ke anak sulungnya, yang tinggal di pulau Jawa.
“Saya berpisah dengan keluarga sejak minggu ketiga Juli lalu. Saya tinggal di masjid,” kata Ustad Ali yang ditemui Tempo di masjid yang berdiri di halaman Koramil 1702-11 Karubaga, Tolikara, Sabtu, 12 Desember 2015.
Ustad Ali bertanggung jawab memimpin umat Muslim di Tolikara, terutama mengenai sholat lima waktu dan kegiatan lainnya. Senyum Ustad Ali mengembang sambil beberapa kali mengucapkan terima kasih atas pembangunan masjid berukuran 12 x 12 meter persegi, ditambah teras depan dan samping. Masjid ini berkapasitas sekitar 400 orang.
Bangunan masjid semi permanen, fondasi dari batu, dinding papan, dan berlantai keramik putih. Sekeliling masjid dibangun tembok batu. Sabtu siang itu, beberapa pekerja sibuk menyelesaikan pembangunan tembok masjid. “Ada hikmah yang kita petik, yakni bangunan lebih bagus dan lebih besar kapasitasnya,” ujar Ustad Ali.
Menurut Ustad Ali, aparat TNI lah yang membangun masjid. Pemerintah pusat, ujarnya, meminta masjid sudah berdiri dalam kurun waktu 30 hari. Namun terpaksa molor jadi 42 hari. Adapun desain masjid, Ustad Ali menjelaskan, diserahkan kepada Danramil Karubaga, Romadlon.
Masjid ini dibangun sebagai pengganti mushola yang terbakar bersama 60 rumah toko (ruko) dalam peristiwa Tolikara, 17 Juli 2015. Mushola yang diberi nama Baitul Mutaqqin itu berukuran 11 x 11 meter persegi. Mushola diapit ruko-ruko dan letaknya berseberangan dengan halaman Koramil.
Menurut ustad Ali, meski belum sepenuhnya selesai dibangun, masjid ini sudah diresmikan Menteri Sosial. Kegiatan ibadah sehari-hari pun sudah berlangsung di masjid.
Hanya, Ustad Ali mengaku saat ini resah. Ceritanya, ia ditanyai pengurus masjid mengenai perubahan nama masjid yang dilakukan tanpa koordinasi dengan pengurus. Beberapa orang, kata Ustad Ali, tanpa bersedia menyebut identitasnya, mengirim nama baru masjid ke Menteri Sosial. Pengurus mengira Ustad Ali yang mengajukan nama itu. “Nama masjid itu berubah menjadi Khairul Ummah,” katanya.
Ustad Ali ingin nama itu seperti nama mushola, Baitul Mutaqqin. Ini sebagai bentuk penghargaan terhadap pendiri mushola. “Saya melihat papan nama utuh, tidak ikut terbakar. Cuma sudutnya sedikit terbakar. Saya lihatnya itu,” ujar ustad Ali yang kehilangan ruko dan harta bendanya dalam konflik saat Idul Fitri 2015.
Tak hanya soal kurangnya koordinasi pemberian nama masjid yang baru dibangun, perubahan nama itu juga berdampak pada kesulitan pengurus masjid untuk berhubungan dengan pihak ketiga. Misalnya, sulitnya bertransaksi di bank karena perubahan nama masjid. Sementara itu, specimen kepengurusan masih dengan nama yang lama, Baitul Mutaqqin. Alhasil, bantuan dana untuk masjid juga tak bisa diterima karena perubahan nama tersebut.
Ustad Ali telah mengusulkan umat tetap memakai nama yang lama untuk masjid yang baru. Namun ia serahkan ke umat untuk memutuskannya.
Bersamaan dengan itu, menurut Ustad Ali, ia terus merajut kembali kerukunan antarumat yang berbeda agama di Tolikara. Kehadiran masjid ini, meski tetap tidak diperbolehkan menggunakan alat pengeras suara untuk azan, disambut juga oleh umat nonmuslim. “Saya harus merajut kembali supaya tetap bersatu dan toleransi tetap kita jaga."
MARIA RITA
Baca juga:
Kisah Kerukunan Papua di Warung Bakso Yogya Tolikara
FPI Seret Penulis Buku ke Polisi Gara-gara Status Facebook