TEMPO.CO, Banyuwangi - Semua instansi pemerintah dan swasta di Banyuwangi, Jawa Timur, mulai tahun ini harus menyediakan perpustakaan atau sudut baca. Bila tidak, pemerintah daerah setempat akan memberikan sanksi administrasi hingga penutupan usaha.
Kewajiban memiliki perpustakaan itu setelah pemerintah daerah setempat memiliki Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan dan Pengelolaan Perpustakaan. Peraturan ini juga mengikat bagi penyelenggara pelayanan kesehatan, pendidikan, tempat ibadah, mal, hotel, lembaga pemasyarakatan, tempat rekreasi dan tempat hiburan.
"Perda ini dibuat untuk mendongkrak minat baca di Banyuwangi," kata Ketua Panitia Khusus Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Banyuwangi Ruliyono, Senin, 4 Januari 2015.
Dia menyatakan hasil penelitian menunjukkan persentase minat baca di Indonesia hanya 0,001 persen. “Artinya, dari seribu orang di Indonesia, hanya satu yang suka membaca,” ucapnya.
Menurut Ruliyono, kewajiban semua instansi pemerintah, swasta, dan pengelola fasilitas umum mendirikan perpustakaan tertuang dalam Pasal 8 ayat 3 Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan dan Pengelolaan Perpustakaan. Selain itu, setiap pemerintah desa diharuskan mengalokasikan anggaran untuk pengembangan perpustakaan dan memberikan insentif bagi pengelola perpustakaan desa.
Ruliyono juga meminta Perpustakaan Daerah Banyuwangi meningkatkan fasilitasnya. Sebab, meski sudah berkategori B, fasilitas Perpusda Banyuwangi dianggap ketinggalan dan tradisional. Dampaknya, Perpusda Banyuwangi lebih sepi pengunjung dibanding perpustakaan milik Pemerintah Kota Surabaya.
Kepala Kantor Pelayanan Perpusda Banyuwangi Riyanti Ananta menuturkan Perpusda Banyuwangi dikunjungi 100-200 orang per bulan. Jumlah ini meningkat sejak Perpusda Banyuwangi berbasis online per April 2014. “Sebelumnya pengunjung kurang dari seratus orang per bulan,” katanya.
Riyanti mengakui, rendahnya tingkat kunjungan karena koleksi buku Perpusda sedikit, yakni 65-70 ribu judul. Perpusda Banyuwangi kesulitan mempercepat pembelian buku-buku baru karena pengadaan buku dilakukan secara lelang setahun sekali. Anggarannya Rp 200-300 juta per tahun. “Jadi kami tidak bisa update judul buku terbaru,” ujarnya.
IKA NINGTYAS