TEMPO.CO, Jakarta - Seorang dari sekian orang Indonesia yang dikagumi Benedict Richard O'Gorman Anderson atau Ben Anderson adalah sastrawan Pramoedya Ananta Toer. Amrih Widodo, sahabat Ben Anderson menggambarkan Ben dan Pramoedya memilik sifat yang mirip, pekerja keras. Uniknya, Ben dan Pramoedya menjalin persahabatan lewat tulisan, tanpa bertemu muka.
Ben Anderson adalah profesor dari Universitas Cornell, Amerika Serikat yang ikut mewarnai pemikiran dunia tentang Indonesia. Ben Anderson wafat di Batu, Jawa Timur, Minggu dinihari, 13 Desember 2015. Ben dikenal karena kritik-kritiknya terhadap Orde Baru. Ia pernah dilarang masuk ke Indonesia oleh Soeharto dan baru datang lagi ke sini setelah rezim Soeharto jatuh. Ben, 79 tahun, datang ke Indonesia untuk mengisi kuliah umum bertema anarkhisme dan nasionalisme di kampus Universitas Indonesia, Depok, Kamis, 10 Desember 2015.
Amrih mengatakan, pertemuan pertama baru terjadi beberapa tahun sesudah reformasi 1998 ketika Pramoedya berkunjung ke Amerika Serikat. “Persahabatan mereka terasa lekat hangat dan penuh kasih,” kata Amrih Widodo kepada Tempo, Jumat 18 Desember 2015. Amrih Widodo adalah dosen antropologi budaya di Australian National University. Amrih bertemu pertama kali dengan Ben pada tahun 1981 di suatu pesta yang diadakan John Wolff, dosen di Cornell University. John mempekerjakan Amrih sebagai guru Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa di Cornell University sejak musim gugur 1981.
Ketika di Cornell, Amrih mengambil mata kuliah antropologi politik yang diajarkan oleh Ben Anderson dan Jim Siegel. Kuliah ini banyak membahas tulisan Pramoedya secara mendalam sebagai cara untuk melihat Indonesia lewat politik bahasa yang dipakai oleh Pramoedya dalam cerpen dan novelnya. Pada tahun 1985, Amrih mengunjungi Pramoedya di rumahnya di Utan Kayu, Jakarta. Sesudah mengobrol hingga malam, Amrih menginap di rumah Pram. Ketika Pram berbicara mengenai Ben Anderson, Amrih juga merasakan kedekatan pemikiran dan perasaan sebagai sahabat. Sesuatu yang luar biasa, padahal Ben Anderson dan Pramoedya belum pernah bertemu.
Dalam kunjungan itu, atas permintaan Ben Anderson, Amrih merekam Pramoedya yang membacakan beberapa bagian dari buku karangannya ‘Bumi Manusia’ dan ‘Anak Semua Bangsa’. Amrih juga memotret Pramoedya sedang bekerja di ruang kerja sekaligus kamar tidurnya. Di kamar kerja sekaligus kamar tidur yang semua dindingnya dipenuhi buku dan dokumen itu, tersedia dua tempat tidur besi yang sangat sederhana, berkelambu. “Saya tidur di salah satu tempat tidur tersebut kelelahan sesudah ngobrol dan membuat rekaman seharian,” kata Amrih.
Sekitar jam enam pagi, Amrih dibangunkan oleh bunyi ketak-ketik. Ternyata Pram sudah mulai bekerja sejak jam lima pagi. Pramoedya sedang membuat ensiklopedi geografi sosial Indonesia, dengan mesin ketik menulis satu per satu kata demi kata, lalu digunting dan diurutkan abjad, ditempel dengan lem bikinan sendiri, ditata dalam penyimpan dokumen besar yang berjejer di rak bukunya. Semangat dan kegigihan kerja di ruang kerja yang penuh dengan kertas dan buku bertebaran, ruang kerja yang mirip dengan kantor Ben Anderson di 102 West Avenue, Ithaca.
Ketika cerita pengalaman bersama Pram ini Amrih sampaikan Ben, bersamaan dengan Ben mendengarkan suara Pram membacakan penggalan kisah dari novelnya, Ben lama tercenung. Menurut Amrih, Ben membayangkan diri di dalam ruangan Pram. “Berkali-kali Pak Ben menyatakan lisan maupun tertulis betapa Pak Pram adalah tokoh yang paling dikagumi dan paling memberikan inspirasi kepadanya,” kata Amrih.
Majalah Tempo terbitan Senin 21 Desember 2015 ini mengulas Ben Anderson dan pentingnya bagi Indonesia.
SUNUDYANTORO