TEMPO.CO, Yogyakarta – Peneliti dari Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Hifdzil Alim, menyatakan rakyat telah dibohongi oleh persidangan Majelis Kehormatan Dewan (MKD). Akhir drama sidang etika kasus 'papa minta saham' itu juga tak ubahnya lelucon saja karena tidak ada keputusan. "Saya pikir telah terjadi pengibulan nasional terhadap ending dari drama persidangan dugaan pelanggaran etik Setya Novanto," kata Hifdzil, Kamis, 17 Desember 2015.
Ia menyebutkan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014, MKD seharusnya memberikan putusan dari sidang etik. Namun sampai saat ini, tidak ada satu pun keputusan yang disampaikan. Sebaliknya, MKD hanya menjadi juru bicara pengunduran diri Setya Novanto dari kursi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat. "Saya garis bawahi, penyampaian keputusan dan pengunduran diri Setya Novanto dari ketua DPR adalah dua hal yang sangat berbeda," katanya.
Sidang MKD terkait dengan kasus Ketua DPR Setya Novanto kemarin dinyatakan ditutup tanpa ada putusan. MKD hanya menyatakan menerima surat pengunduran diri Setya Novanto.
Hifdzil, yang juga dosen ilmu hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, mengatakan sidang etik digelar untuk mengetahui ada pelanggaran etik atau tidak. Sehingga dapat diambil kebijakan selanjutnya, untuk memutuskan seseorang bersalah atau tidak.
"Kalau pengunduran diri dari posisi Ketua DPR itu urusan pribadi. Mau mundur silakan, gak juga silakan. Gak ada kaitannya dengan sidang etik. Jadi tidak pernah akan ketemu, apakah Setya Novanto melanggar etik atau tidak," ujarnya.
Melihat kenyataan sidang di MKD ini, sekarang tidak ada lagi lembaga yang berhak menghakimi Setya Novanto dalam pelanggaran etika. Sebab tidak pernah ada putusan soal itu. Yang ada hanya persidangannya saja. Putusannya tidak ada. Walhasil, hingga sekarang Setya Novanto masih dianggap tidak melakukan pelanggaran etik. "Jadi jangan pernah mengatakan Setya Novanto melanggar etik, kalian semua akan dilaporkan pencemaran nama baik nantinya," katanya.
MUH. SYAIFULLAH