TEMPO.CO, Pontianak - Greenpeace Indonesia mendesak Presiden Joko Widodo merealisasikan komitmennya untuk merestorasi kawasan gambut di Indonesia.
"Komitmen Presiden yang monumental untuk melindungi dan merestorasi lahan gambut sesungguhnya dapat berdampak lebih luas dalam mengurangi emisi Indonesia apabila disertai dengan kekuatan hukum," kata Rika Novayanti Media Campaigner Greenpeace Indonesia, Kamis, 3 Desember 2015, seusai menyambangi Kalimantan Barat, Kalimantan Utara, dan Kalimantan Tengah.
Namun, lanjutnya, tanpa adanya langkah baru perlindungan bagi hutan, Jokowi saat ini justru sedang membiarkan sekaligus melanggengkan perusakan hutan, termasuk kebakaran yang sangat merugikan.
"Penghancuran hutan dan lahan gambut di Indonesia adalah sumber emisi terbesar," katanya. Indonesia telah kehilangan 31 juta hektare hutan hujan sejak 1990, atau hampir setara dengan luas negara Jerman. Saat ini Indonesia merupakan negara dengan tingkat deforestasi tertinggi, terkait dengan perannya sebagai pemasok minyak sawit terbesar di dunia.
Meskipun pada 2011 Indonesia telah menghentikan pemberian izin baru bagi pembukaan konsesi di hutan primer dan lahan gambut, tingkat kerusakan hutan dalam skala nasional justru meningkat.
Rika menambahkan, Indonesia memegang kunci atas pengurangan emisi gas rumah kaca global dengan cara paling murah dan efektif, yaitu perlindungan dan pemulihan hutan-lahan gambut. "Greenpeace mendesak Presiden untuk tidak melepas kesempatan di Paris agar mendapat dukungan bagi penyelamatan hutan dan lahan gambut Indonesia," katanya.
Tak hanya itu, Indonesia juga memerlukan undang-undang atau produk hukum yang sepenuhnya melindungi hutan dan lahan gambut, termasuk sanksi tegas bagi siapa saja yang melanggar undang-undang tersebut. Selanjutnya, diperlukan adanya transparansi menyeluruh terkait dengan penguasaan hutan dan lahan gambut.
"Semua kebutuhan tersebut dapat terpenuhi apabila pemerintah serius dalam mengatasi kebakaran hutan dan perubahan iklim di Indonesia," pungkasnya.
ASEANTY PAHLEVI