TEMPO.CO, Mataram - Dalam sepuluh tahun terakhir, pantai bagian utara Gili Trawangan, Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, terkikis 40 meter ke daratan. “Kondisi ini disebabkan perubahan iklim,” kata Ketua Pusat Penelitian Pesisir dan Lautan Universitas Mataram (P3L Unram) Imam Bachtiar melalui telepon kepada Tempo, Senin, 23 November 2015. Keadaan diperparah karena pecahan terumbu karang banyak yang dialihkan karena dianggap mengganggu lintasan perahu yang lewat.
Untuk mengantisipasi kerusakan yang lebih parah, selama 2012, P3L Unram menempatkan 160 unit pemecah gelombang. Terdiri atas 120 unit struktur bentuk kubus dan 40 unit reef ball.
Selain erosi, lingkungan Gili Trawangan juga terancam sampah. Ketua Kelompok Masyarakat Peduli Lingkungan (KMPL) Gili Trawangan Malik menyebutkan sulitnya menangani sampah yang setiap hari sekitar 10-15 ton. Lahan sewa untuk pembuangan sampah seluas 20 are telah penuh. “Kami ingin pemerintah daerah membantu meminjamkan tanah seluas 80 are, tapi tidak ada respons,” ujarnya.
Dana patungan pengusaha setempat digunakan untuk membeli peralatan pengelolaan sampah untuk mengepak sampah dan memotong plastik. Juga untuk membeli kapal barang senilai Rp 172 juta yang mampu mengangkut sampah 15 ton.
Imam mengkritik pengelolaan sampah di Gili Trawangan. Menurut dia, sampah semestinya dibawa dan ditangani di Lombok. “Di Australia, tidak ada pengelolaan sampah di pulau kecil.”
Hari ini, United Nations Development Programme (UNDP) atau Badan Program Pembangunan PBB meninjau kawasan wisata Gili Indah—Gili Trawangan, Gili Meno, dan Gili Air—di Kabupaten Lombok Utara. Lembaga tersebut melihat dampak erosi yang mengikis pantai di pulau wisata primadona Nusa Tenggara Barat itu.
SUPRIYANTHO KHAFID