TEMPO.CO, Jambi - Masyakakat Adat Desa Talang Kemuning dan Bintang Marak, Kerinci, Jambi, memutuskan untuk mengeluarkan Kepala Desa Bintang Marak, Halwati, dari masyarakat adat, Jumat (20/11) sore tadi. Halwati tidak diakui sebagai warga adat karena menerbitkan Surat Keterangan Tanah (SKT) yang diduga palsu untuk DD dan AA, padahal tanah yang diklaim berada di kawasan hutan adat di Taman Nasional Kerici Sebelat (TNKS).
“SKT itu membuat hutan adat di TNKS bisa terjual ke ke Pertamina Geothermal Energy (PGE),” ujar Hamdani, Ketua Kerapatan Adat Depati Nyato Desa Talang Kemuning dan Bintang Marak tadi malam.
Tempo mendapat informasi ini dalam diskusi pada acara pelatihan Wartawan Desa yang digelar bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Mitra Aksi di Muaro Jambi, Jambi, 19-20 November (baca pula: Tempo, KLHK, Mitra Aksi Gelar Kursus Wartawan Desa di Jambi). Pihak PGE belum dapat dimintai tanggapan, demikian pula Kepala Desa Halwaty.
Hamdani, yang juga menjadi Depati Mudo Talang Kemuning dan Bintang Marak, mengatakan tanah yang dijual ke PGE sekitar 4 hektare. Harganya Rp 800 juta. Diduga kuat yang dijual oleh DD dan AA sebenarnya sekitar 35 hektare. Nilainya sekitar Rp 6 miliar.
SKT itu diduga palsu karena ada sejumlah keanehan. Misalnya, tanda tangan kepala desa Talang Kemuning diduga dipalsukan. Hamdani sendiri, sebagai Ketua Kerapatan Adat, mengaku tidak diberi tahu soal adanya jual-beli yang terjadi pada Oktober lalu itu. Padahal, berdasarkan kesepakat, urusan tanah di kedua desa harus dirembuk bersama kedua desa dan pengurus adat. “Karena Bintang Marak masih desa baru, merupakan pemekaran dari Talang Kemuning tiga tahun lalu,” ujarnya.
Tanah itu juga berada di TNKS sehingga jelas tidak bisa dijual-belikan. “Jaraknya dari batas TNKS sekitar 1,5 jam jalan kaki,” kata Hamdani. “Adapun batas TNKS seperti telah diatur adalah tepi ladang dengan hutan.”
Hutan itu pun merupakan hutan primer dan menjadi sumber air untuk minum dan pengairan di desa-desa sekitarnya. Sekitar separuh desa di Kecamatan Bukit Kerman tergantung pada sumber air ini. “Bila dipakai PGE, sumber air kami hilang.”
Selain dikeluarkan sebagai warga adat, Halwati mendapat denda seekor kerbau. “Hukum adat ini mengacu pada praktik sebelumnya,” kata Hamdani.
Ia menambahkan, warga menyesalkan terjadinya kepemilikan tanah oleh warga di areal yang dilindungi Undang-undang. “Soalnya ini contoh buruk. Bisa jadi ada yang menirunya dan hutan menjadi rusak,” ujarnya.
YOSEP S.