TEMPO.CO , Jakarta:- Pengadilan Rakyat kasus 1965 di Den Haag ini ni dipimpin oleh tujuh hakim, tujuh jaksa penuntut umum, dan satu hakim panitera. Siapa mereka? Inilah profil para penegak hukum yang bakal menentukan nasib upaya pengungkapan kebenaran di balik tragedi kemanusiaan peristiwa 1965 di Indonesia.
Hakim Sir Georffrey Nice
Nice dikenal sebagai advokat tanggung sejak 1971. Nice pernah menjadi jaksa dan memimpin penuntutan dalam persidangan terhadap mantan Presiden Serbia Slobodan MiloševiÄ. Karier Nice banyak bersinggungan dengan persoalan di Pengadilan Kriminal Internasional atas Sudan, Kenya, Libya. Dia juga menjadi pengacara pro bono untuk korban-korban di Iran, Burma, Korea Utara yang kasusnya tidak bisa diangkat di pengadilan internasional.
Hakim Helen Jarvis
Helen pernah tinggal di Indonesia pada akhir 1965 dan bekerja di Jakarta hingga 1969. Menetap di Phnom Penh, Helen menyandang kewarganegaaan Australia dan Kamboja. Pada pertengahan 1990-an, Helen mulai terjun mengurusi isu yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan dan genosida, khususnya di Kamboja.
Hakim Mireille Fanon Mendes France
Pakar dari Perserikatan Bangsa-Bangsa ini merupakan pimpinan kelompok kerja untuk masyarakat keturunan Afrika. Mendes pernah menjadi penasihat hukum Majelis Nasional Perancis dan saat ini menjadi President of the Frantz Fanon Foundation.
Hakim yang pernah bekerja untuk UNESCO Press ini sebelumnya banyak terlibat dalam urusan pengadilan rakyat Permanent People's Tribunal di Roma, Italia.
Hakim John Gittings
Gitting merupakan seorang penulis sekaligus jurnalis yang paham dengan diskursus Tiongkok modern dan sejarah Asia. Pada tahun 1990, wartawan senior The Guardian ini pernah menyajikan reportase mendalam terkait 25 tahun peristiwa 1965-1966 di Indonesia.
Gitting juga pernah terjun ke Jakarta pada 1999 untuk memberikan reportase berkaitan dengan krisis di Timor Leste. Salah satu karya tulisannya yang menjadi rujukan berjudul 'The Indonesian Massacres, 1965-1966: Image and Reality'.
Hakim Shadi Sadr
Shadi Sadr adalah pengacara hak asasi manusia asal Iran yang pernah ditangkap, disiksa, dan ditahan pemerintah Iran. Pada Juli 2009, Sadr ditangkap namun kemudian dibebaskan sehingga memberi kesempatan baginya untuk melarikan diri ke Eropa.
Pada 17 Mei 2010, Sadr divonis bersalah secara in absentia oleh Pengadilan Tehran Revolutionary atas tuduhan telah melakukan pelanggaran terhadap keamanan nasional dan menggangu ketertiban publik. Dia mendapat hukuman enam tahun penjara dan 74 cambukan.
Hakim Cees Flinterman
Cees Flinterman merupakan profesor kehormatan bidang HAM di Utrecht University dan Maastricht University, Belanda, sejak November 2007. Pria yang mendedikasikan diri terjun di dunia akademis ini juga tercatat sebagai anggota di sejumlah organisasi internasional nonpemerintah.
Karya ilmiah dan penelitian Flinterman banyak berkaitan dengan persoalan hak asasi masnusia, kebijakan luar negeri, hukum konstitusi dan internasional, serta persoalan gender dan HAM.
Hakim Zak Yacoob
Zak Yacoob, pensiunan hakim Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan ini buta sejak bayi. Dengan keterbatasan fisiknya, Yacoob berhasil meraih gelar sarjana hukum di University of Kwa-Zulu Natal.
Pada 1991-1998, Yacoob tercatat sebagai anggota kongres bawah tanah African National dan tergabung dalam komunitas yang terlibat dalam kampanye antiapartheid. Selama menjadi hakim konstitusi (1998-2013), nama Yacoob mulai dikenal dunia internasional atas kontribusinya terkait yurisprudensi hak sosial-ekonomi Afrika Selatan.
Hakim Panitera Szilvia Csevár
Profesional yang berkecimpung di Hukum Internasional Publik ini mengantongi segudang pengalaman di bidang hukum kriminal internasional, hukum kemanusiaan, dan standar hak asasi manusia.
Csevár saat ini tergabung dalam Pengacara Internasional untuk Papua Barat sebagai legal officer. Dia bertanggung jawab mengurusi manajemen dan pengawasan program hukum ILWP yang berkenaan dengan pelanggaran HAM di Provinsi Papua dan Papua Barat di Indonesia.
Jaksa Penuntut Silke Studzinsky
Sejak 1990, Silke gencar memperjuangkan hak-hak korban kekerasan seksual, pelecehan seksual, perdagangan manusia, dan diskriminasi rasial, baik di dalam dan di luar persidangan.
Silker juga terlibat dan berpartisipasi dalam beberapa misi perjuangan HAM, pengawasan persidangan, serta urusan delegasi di Turki, Spanyol, Yunani, Israel, Korea Selatan, dan Kashmir.
Pada 2013-2015, Silke dipercaya menjadi penasihat hukum Trust Fund for Victim di Pengadilan Kriminal Internasional di Den Haag, Belanda.
Selain Silke, ada enam jaksa penuntut yang dihadirkan dari Indonesia. Atas pertimbangan keamanan dan kepentingan politik, nama-nama mereka belum dapat dipublikasikan.
PURWANI DIYAH PRABANDARI (Den Haag)