TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi Persatuan Rakyat Jakarta mendesak Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok mencabut Peraturan Gubernur Nomor 228 Tahun 2015 tentang Pengendalian Pelaksanaan Penyampaian Pendapat di Muka Umum. Pernyataan ini disampaikan di LBH Jakarta pada Jumat, 6 November 2015.
Salah satu anggota koalisi, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta Alghifari Aqsa menjelaskan desakan ini muncul akibat penilaian terhadap terbitnya pergub yang mengancam demokrasi. "Pergub ini produk asal-asalan dan mengancam demokrasi," kata Alghifari dalam pernyataan pers.
"Ini memperlihatkan arogansi Ahok sebagai pejabat publik yang sewenang-wenang dan tidak tepat sasaran mengancam demokrasi," kata Alghifari.
Menurutnya, ada tiga hal dalam pergub tersebut yang mengancam demokrasi. Pertama, pasal 4 pergub tersebut mengatur unjuk rasa hanya diperbolehkan di tiga titik, yakni Parkir Timur Senayan, Alun-alun Demokrasi DPR-MPR, dan Silang Selatan Monumen Nasional. "Dalam UU 9 Nomor 1998, aksi diperbolehkan untuk pawai dan diperbolehkan di sembilan tempat, tapi di pergub ini hanya boleh tiga tempat," kata Alghifari.
Kedua, Alghifari mengatakan pasal 7 mengenai mediasi hanya dapat dilakukan oleh instansi pemerintah daerah dan satuan kerjanya. "Aksi kan tidak selalu ditujukan ke pemda saja, tapi juga lembaga negara lain di DKI Jakarta," katanya.
Ketiga, Alghifari menilai keberadaan fungsi TNI yang dapat membubarkan aksi semakin menguatkan peran dwifungsi tentara. "Akibatnya, tidak hanya dalam bidang pertahanan, tapi juga keamanan," kata dia.
Alghifari mengatakan Persatuan Rakyat Jakarta dengan tegas tidak akan mengikuti peraturan gubernur ini. "Produk ini asal-asalan, bertentangan dengan undang-undang, dan mengancam demokrasi," ujarnya.
Peraturan Gubernur Nomor 228 Tahun 2015 tentang Pengendalian Pelaksanaan Penyampaian Pendapat di Muka Umun disahkan pada 28 Oktober 2015 lalu. Pergub ini dinilai banyak pihak cacat karena juga tidak melibatkan publik dalam penyusunannya.
ARKHELAUS WISNU