TEMPO.CO, Yogyakarta - Pemerintah Kota Yogyakarta mendukung penuh pemerintah tentang hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan terhadap anak, khususnya pelaku kejahatan seksual (paedofil).
Pemerintah pusat berencana membuat peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) tentang hukuman kebiri ini sebelum akhir 2015. Perpu hukuman kebiri ini diusulkan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan sejumlah kementerian setelah maraknya kasus kejahatan pada anak di Indonesia hingga masuk status darurat.
“Kami mendukung sanksi kebiri itu karena selama ini hukuman bagi pelaku kejahatan seksual baik anak ataupun perempuan hampir tak pernah diberikan secara maksimal ketika dibawa ke ranah hukum,” ujar Kepala Kantor Pemberdayaan Masyarakat dan Perempuan Kota Yogyakarta Lucy Irawati, Jumat, 23 Oktober 2015.
Sanksi hukuman kebiri yang tengah digodok pemerintah saat ini mengkonsep kebiri hormonal, dengan bantuan zat kimiawi guna mematikan secara permanen libodo predator anak.
Lucy menambahkan, potensi munculnya pelaku kejahatan seksual pada anak selama ini cukup tinggi karena jerat hukum yang terlalu ringan sanksinya dan dinilai tak bisa membuat jera. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak hanya memuat sanksi pidana kurungan maksimal 15 tahun. “Tapi kan jarang sekali dikenai yang maksimal, jadi juga tergantung hakimnya,” ujarnya.
Baca Juga:
Padahal, kata Lucy, dalam beberapa kasus di Kota Yogyakarta yang ia temui, korban di bawah umur yang mendapat kekerasan atau kejahatan seksual harus menjadi korban hingga ‘dua’ kali. “Korban kerap dikucilkan dari lingkungan sosial, oleh lingkungannya, sering dituduh memancing nafsu pelaku karena berpakaian minim,” ujar Lucy.
Namun, Lucy menuturkan, untuk menerapkan hukuman kebiri ini, dalam draf perpu yang digodok pemerintah pusat itu perlu diklasifikasikan kejahatan seksual mana yang memang patut dikenai hukuman itu. “Jika kejahatan itu mengandung unsur sadisme dan bersifat kontinu, maka sangat layak mendapatkan sanksi kebiri ini,” ujarnya.
Catatan pemerintah kota, sampai September 2015 ini, angka kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) baik yang menimpa para anak maupun perempuan tercatat sebanyak 501 kasus. Namun dari kasus kekerasan itu, yang masuk kategori seksual diklaim tak terlalu dominan.
Kasus kekerasan rumah tangga tahun ini di Kota Yogya pun dinilai menurun dibanding tahun 2014 yang mencapai 642 kasus. Kasus kekerasan rumah tangga tertinggi yang dicatat pemerintah kota terjadi tahun 2012 yang hampir mencapai 700 kasus.
Kalangan aktivis anak dan perempuan di Kota Yogyakarta pun menyatakan setuju dengan upaya pemerintah untuk membuat sanksi kebiri pada pelaku kejahatan anak itu.
Koordinator Pusat Layanan Terpadu Penanganan Korban Unit Pelaksana Teknis Jaringan Penanganan Korban Kekerasan Berbasis Gender Kota Yogyakarta Anik Setyawati mengatakan sanksi kebiri akan menjadi hukuman setimpal bagi dampak yang ditimbulkan pelaku kejahatan anak.
“Karena anak yang menjadi korban menanggung trauma seumur hidup, itu mematikan masa depannya,” ujar Anik.
Anik mengakui dalam pengamatannya selama ini sanksi maksimal dalam Undang-Undang 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak sering kali mengalami kendala. “Penegak hukum kesulitan mencari saksi dan bukti karena biasanya kejahatan ini dilakukan sembunyi-sembunyi, sering tak ada saksinya,” ujar Anik.
Aktivis anak dari Sentra Advokasi Perempuan, Difabel, dan Anak (Sapda) Kota Yogyakarta, Jamalludin Latief, mendukung pula sanksi kebiri bagi pelaku kejahatan anak ini diterapkan secara maksimal bagi korban yang masuk dalam kategori bawah umur.
“Kategori anak ini tak hanya anak usia dini, tapi juga pelajar sekolah yang masuk di bawah umur, karena kecenderungan kasus tiap daerah berbeda,” ujar Jamaluddin.
Di Kota Yogyakarta, ujar Jamal, kejahatan pada anak usia dini atau tingkat sekolah dasar terhitung minim, tapi didominasi dari kalangan pelajar baik tingkat SMP dan SMA.
PRIBADI WICAKSONO