TEMPO.CO, Jakarta - "Radikalisasi merupakan isu yang kompleks dan tidak mudah dicari solusinya," kata Greg Barton, profesor dari Universitas Deakin, Australia, dalam seminar di Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Selasa, 8 September 2015. Kesimpulan Greg didasari pengamatannya terhadap upaya Indonesia menghadapi terorisme selama ini.
Menurut dia, penanggulangan radikalisme dan terorisme oleh Detasemen Khusus 88 dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) belum sepenuhnya berhasil. "Densus 88 sudah bertindak taktis dan reaktif. Sementara itu, BNPT terus berjuang mengatasi radikalisme dan terorisme, baik secara preventif maupun tindakan. Dibutuhkan kepemimpinan kuat untuk penanggulangan radikalisme," kata Greg.
Dalam seminar bertajuk Explaining Religius Radicalism and Political Violence: Towards Nation-State Building in, Greg menyebut selain Indonesia banyak negara terus memikirkan solusi untuk mengatasi masalah ini. Faktor pendorong radikalisme, kata Greg, bisa dicegah melalui koordinasi intensif yang dikelola negara, termasuk mengatasi bagaimana paham radikalisme yang menyebar melalui media sosial.
"Jangan sampai karena media sosial orang jadi memiliki paham radikalisasi. Mereka bisa mengakses video di YouTube dan Facebook yang memang menarik perhatian," katanya. Ia mengatakan paham itu bisa dicegah dengan melibatkan keluarga dan lingkaran terdekat mereka. "Karena ideologi tidak akan mudah terderadikalisasi setelah mereka mendapat pengajaran agama yang kuat," kata Greg.
Pembicara lain dalam seminar itu, mantan Kepala BNPT Ansyad Mbaai, mengusulkan revisi UU tentang Terorisme. Ansyad menganggap UU Nomor 15 tahun 2003 itu terlembek di dunia untuk dipakai memberantas terorisme. "Sejak tahun lalu (2014) saya sudah mengusulkan (UU Terorisme) direvisi," kata Ansyad.
Usulan Ansyad direspons sosiolog Universitas Gadjah Mada Najib Azca. Menurut dia revisi undang-undang tentang terorisme seperti pedang bermata dua. Artinya aturan itu berpotensi membuat terjadinya pelanggaran HAM. “Menurut saya jangan tuntut perubahan konstitusi. Perbaiki dulu koordinasi antarlembaga terkait,” kata Najib.
Ia menganggap selama ini ada kegagalan pemerintah membangun koordinasi dalam menangani terorisme. Bentuk kegagalan itu antara lain dalam membagi informasi lintas institusi Badan Intelijen Negara (BIN), BNPT dan Densus 88, serta Badan Strategis Intelijen TNI yang belum maksimal.
Najib menyarankan pemerintah melibatkan masyarakat dan komunitas yang peduli isu ini. “Bahkan kalau perlu melakukan dialog dengan kelompok teroris itu sendiri meski tidak mudah,” katanya. Selain itu, pemerintah juga bisa melakukan optimalisasi teknologi untuk mencegah terjadinya aksi radikalisme menggunakan kekerasan, yang dapat mengarah pada terorisme.
Peneliti soal terorisme Jacques Bertrand menjelaskan radikalisme di tiga negara Asia Tenggara, yakni Thailand, Myanmar, dan Indonesia berbeda. Terungkap bahwa agama dan posisi para tokoh agama turut mengambil bagian. Dia mencontohkan di Thailand dan Myanmar, radikalisme dipimpin oleh tokoh agama Buddha. "Yang jelas radikalisasi merupakan masalah yang terjadi di banyak negara," ujar profesor dari Universitas Toronto, Kanada, tersebut.
Jacques juga menemukan bahwa radikalisasi dan kekerasan politik tidak meliputi agama tertentu. Muslim di Indonesia, kata dia, berbeda sikapnya dengan tokoh agama di Myanmar dan Thailand ihwal paham ini. Dalam konteks demokrasi, ia menyerukan identitas keagamaan sebaiknya dilebur dalam identitas nasional.
Peleburan antara identitas negara dan agama itu perlu dinegosiasikan. "Meski demikian, peleburan identitas ini membuat agama maupun kepercayaan minoritas jadi lebih sedikit tergabung dan membuat mereka rentan," katanya. Seminar ini diikuti mahasiswa, dosen dan masyarakat umum.
ELIK S | INEZ CHRISTYASTUTI HAPSARI