TEMPO.CO, Yogyakarta - Ketua Gerakan Anak Negeri Anti-Diskriminasi (Granad) Willie Sebastian memprotes pernyataan Menteri Agraria dan Tata Ruang Ferry Mursyidan Baldan yang membenarkan aturan kepemilikan tanah diskriminatif di Daerah Istimewa Yogyakarta.
"Ferry harus meminta maaf kepada warga Tionghoa dan mencabut pernyataannya," ujarnya kepada Tempo, Ahad, 6 September 2015.
Sebelumnya, Ferry membenarkan adanya aturan yang melarang warga Tionghoa memiliki tanah di Yogyakarta. Menurut dia, aturan itu menjadi bagian dari kearifan lokal dan keistimewaan DIY.
"Keistimewaan Yogyakarta tak bisa dilihat dengan mindset provinsi biasa," ujarnya pada Kamis, 3 September 2015.
Menurut Willie, Menteri Ferry bersikap rasis karena mendukung kebijakan diskriminatif berdasarkan etnis dan ras dalam kepemilikan tanah.
"Ini masalah bangsa, bukan komunitas Tionghoa saja. Makanya dia harus mencabut pernyataan itu," kata dia.
Larangan warga Tionghoa memiliki tanah di DIY didasari Surat Instruksi Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor K.898/I/A/1975 tentang Penyeragaman Policy Pemberian Hak atas Tanah kepada WNI Non-Pribumi. Aturan itu diteken oleh Wakil Gubernur DIY Paku Alam VIII pada 1975.
Hingga kini, kata Willie, Badan Pertanahan Nasional di Yogyakarta tidak bersedia memberikan sertifikat hak kepemilikan tanah kepada warga Tionghoa karena ada aturan tersebut. Menurut dia, pihaknya sudah beberapa kali meminta pemerintah Yogyakarta mencabut aturan itu, tapi selalu ditolak.
Peneliti Forum Komunikasi Masyarakat Agraris, Kus Sri Antoro, menyatakan, larangan memiliki tanah bagi warga Tionghoa tidak memiliki dasar hukum. Apalagi aturan larangan dikeluarkan pada 1975 atau sebelum ada Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 1984. Peraturan itu menetapkan pemberlakuan secara penuh Undang-Undang Pokok Agraria di Yogyakarta berlaku surut.
ADDI MAWAHIBUN IDHOM
Baca juga:
MU 3-1 Liverpool: Kenapa Kekalahan Ini Selalu Menyakitkan bagi Liverpool?
Ruhut Bicara Soal Kedekatan Rizal Ramli dengan Artis Cantik