Iklan
TEMPO Interaktif, : Pada 26 November 2005, mantan Presiden Soeharto memperoleh Anugerah Bhakti Pratama dari Partai Golkar. Ia dianggap paling berjasa terhadap partai berlambang beringin yang selama puluhan tahun era Orde Baru menjadi partai pemerintah itu. Isu untuk mencabut Ketetapan MPR Nomor XI/1998, yang menyebutkan secara eksplisit pengusutan korupsi, kolusi, dan nepotisme yang dilakukan Soeharto, dapat dilihat sebagai upaya untuk memulihkan kembali nama baik mantan orang nomor satu Indonesia itu. Sebetulnya bagaimana peran Soeharto dalam sejarah Indonesia dan bagaimana rapor kepemimpinannya? Diakui, sulit untuk memberikan penilaian tentang Soeharto dewasa ini. Setelah dia berhenti menjadi presiden pada 1998, arus penulisan sejarah cenderung menanggalkan atribut kebesaran yang telah dilekatkan dan disandangnya selama puluhan tahun. Kehebatannya yang telah difilmkan dan ditulis dalam buku pelajaran sejarah di sekolah kini dipertanyakan. Bahkan dia pun dikaitkan dengan G-30-S/PKI sebagai orang yang paling diuntungkan dalam proses kudeta terhadap Presiden Soekarno. Pendapat pengamat asing tentang Soeharto berlawanan. Menurut Robert Edward Elson, profesor di Griffith University yang menulis buku Soeharto, Political Biography (Oktober 2001), yang baru diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, "Soeharto merupakan tokoh yang amat penting selama abad ke-20 di Asia."Elson melanjutkan, "Secara bertahap, serba hati-hati, dan terencana, ia telah membangun Indonesia yang sama sekali baru." Pada bab terakhir bukunya, dia mengatakan bahwa Indonesia baru yang diciptakan melalui tahap-tahap pembangunan berencana telah melahirkan kekuatan baru yang menginginkan "reformasi total".Menurut Elson, Indonesia kelihatannya ingin melupakan Soeharto dan karya-karyanya serta menganggap Orde Baru sebagai suatu penyimpangan dalam perkembangan sejarah negeri ini. Sikap seperti itu dapat dipahami tapi dianggap Elson "dangkal". Namun, menurut hemat saya, Elson tidak melihat bahwa justru reformasi itu lahir untuk mengoreksi penyimpangan yang dilakukan rezim Orde Baru yang dipimpin Soeharto. Soeharto telah melakukan pembangunan fisik yang signifikan dalam beberapa dekade, sungguhpun diakui ada unsur korupsi atau nepotisme dalam pelaksanaan proyek-proyeknya. Dia dianggap berjasa ikut melahirkan dan mengembangkan ASEAN sebagai sebuah organisasi regional yang diperhitungkan pada tingkat dunia. Indonesia juga memiliki reputasi sangat bagus dalam menampung pengungsi boat people dari Vietnam sejak paruh kedua 1970-an di Pulau Galang. Keluarga Berencana adalah program nasional yang baik meskipun pada awalnya merupakan kegiatan yang dipelopori Gubernur Ali Sadikin di Jakarta, yang kemudian dicontoh oleh pemerintah Orde Baru. Kritik yang paling tajam dilontarkan dari Inggris oleh Peter Carey (Asian Affairs, vol. Okt. 2002), yang sulit menerima kesimpulan Elson bahwa "tidak usah diragukan lagi bahwa warisan Soeharto adalah pertumbuhan ekonomi yang luar biasa yang dihasilkan pemerintahnya".Demikian pula dengan pernyataan "begitu besar yang telah dicapainya sehingga kerusakan karena krisis keuangan 1997-1998 hanya sedikit berpengaruh pada keseluruhan rekornya". Peter Carey berpandangan, kalau diadakan survei ekonomi Indonesia terhadap lautan utang negara dan swasta, bangkrutnya sistem perbankan nasional, dan korupsi yang sudah melembaga, penilaian di atas adalah sebaliknya. Meskipun demikian, menurut Peter Carey, ada kesimpulan Elson yang akurat, seperti "ketika ia meninggalkan gelanggang, chaos membuat negeri ini terlihat sulit untuk diurus, semangat Orde Baru tetap langgeng. Untuk mencapai tujuannya, negara melakukan kekerasan terhadap warga secara periodik dan sistematis". Itulah warisan Soeharto yang sesungguhnya. Terlepas dari kontroversi keberhasilan atau kegagalan Soeharto dalam bidang ekonomi, sikap dan perilakunya pun disoroti pengamat asing secara serius. Menurut John Monfries (Australian Book Review, Maret 2002), kelemahan Soeharto adalah tidak bisa membedakan keuntungan pribadi dengan kepentingan umum. Ia menambahkan, Soeharto menjalankan dua jenis ekonomi secara simultan, yaitu ekonomi pasar modern dan ekonomi nonbujeter (lewat jalan belakang, pencari rente, dan seterusnya). Anehnya, sistem ini dapat berjalan cukup lama dengan hasil spektakuler. David Reeve dari University of New South Wales beranggapan, terlepas dari asal-usul Soeharto yang gelap, keberuntungan adalah salah satu kunci suksesnya. Tapi Soeharto juga memiliki kemampuan pribadi yang hebat serta penguasaan politik yang menghasilkan "pertumbuhan ekonomi luar biasa". Terlepas dari itu, Reeve berkesimpulan, Soeharto adalah pribadi yang sulit dipahami.Robert Elson dalam wawancara dengan radio Australia, ABC, 6 Maret 2002, mengatakan bahwa dari segi horizon intelektual, Soeharto termasuk manusia "satu dimensi". Ia tidak berusaha menemukan arah dan jalan baru dalam pengetahuannya, tapi menengok kembali ke dalam dirinya atau berdasarkan pengalamannya sendiri. Soeharto tidak kreatif, tapi sangat lihai memanfaatkan kesempatan dan mengarahkannya menjadi keuntungan. Namun, Soeharto juga orang yang tak kenal ampun. Musuhnya dibuat tidak berkutik.Mengenai peristiwa 3 Juli 1946 (Soeharto membocorkan ke Istana rencana "kudeta" Mayor Jenderal Sudarsono dan kawan-kawan), Elson menyimpulkan bahwa itu merupakan kualitas Soeharto yang menjadi karakternya di kemudian hari, yaitu "caution, coolness, calculated decisiveness when the time was right.Namun, dari sisi lain, bukankah kejadian itu dapat dianggap sebagai pengkhianatan terhadap atasannya sendiri (Mayor Jenderal Sudarsono) atau tujuan menghalalkan segala cara? Terlepas dari persoalan ekonomi dan kepribadian Soeharto, tentu persoalan lain adalah dampak yang ditimbulkan oleh pembangunan selama Orde Baru. Sementara Soekarno pada akhir pemerintahan mewariskan utang US$ 2,5 miliar, Soeharto membukukan utang (pemerintah dan swasta) US$ 150 miliar. Belum lagi korban kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi sejak pembantaian 1965, pembuangan ke Pulau Buru, pembunuhan misterius, kasus Tanjung Priok, 27 Juli 1997, daerah operasi militer Aceh dan Irian Jaya, kerusuhan Mei 1998, termasuk penculikan aktivis, serta tragedi Trisakti dan Semanggi. Apakah mantan presiden Soeharto layak disebut sebagai tokoh yang berjasa bagi bangsa dan negara? Bagi keluarga dan kalangan terdekatnya, tentu saja ya. Namun, secara umum, kita perlu menunggu satu dekade lagi untuk dapat memberikan penilaian yang lebih jernih dengan tenang. Kita harus mengakui bahwa dia memang pernah menjadi orang kuat Indonesia. Lagi pula, kalau meninggal, ia tidak akan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, tapi di samping istrinya di Surakarta.Asvi Warman AdamAhli Peneliti Utama LIPIKolom ini juga bisa dibaca di Koran Tempo, 28 November 2005