TEMPO.CO, Yogyakarta - Kawasan gumuk pasir yang ada di Pantai Parangtritis, Bantul akan segera ditata kembali. Sebagai Laboratorium Geospasial Pesisir Parangtritis dan Museum Gumuk Pasir, kawasan gumuk pasir tidak boleh ada bangunan dan tanaman .“Tidak boleh ada bangunan dan tanaman,” kata Kepala Badan Informasi Geospasial (BIG) Priyadi Kardono di Kepatihan Yogyakarta, Rabu 12 Agustus 2015.
Penataan kawasan gumuk pasir tersebut akan ditandai dengan pemasangan tetenger atau penanda pada 11 September mendatang. Priyadi mengatakan kawasan gumuk pasir akan dibersihkan dari bangunan, tanaman, dan tambak udang.
Priyadi mengatakan laboratorium dan museum tersebut telah dibangun pada 2002 lalu. Hanya, tetenger yang dipasang saat itu, menurut Priyadi, tidak menunjukkan penanda batas kawasan yang jelas. Akibatnya, masyarakat berdatangan untuk mendirikan bangunan dan tambak udang. Penghijauan dengan penanaman sejumlah pohon juga dilakukan disana.
Dia berharap Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta yang juga Raja Keraton Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X akan memasang patok pembatas sehingga masyarakat memahami bahwa kawasan tersebut merupakan tanah sultan “Sehingga enggak boleh dipakai,” ucap Priyadi.
Dengan pembersihan kawasan tersebut dari berbagai bangunan dan tanaman, akan memudahkan restorasi atau pemulihan kembali gumuk pasir. “Arah angin datang dari selatan. Jadi nanti angin bisa membentuk gumuk pasir lagi,” kata Priyadi.
Baca Juga:
Nantinya, Badan Informasi Geospasial akan bekerja sama dengan Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada untuk menyiapkan pemandu wisata yang berasal dari masyarakat lokal. Pemandu wisata tersebut tidak hanya sekadar mengenalkan tempat-tempat wisata yang ada di pantai pesisir selatan tersebut. Mereka juga diberi pemahaman mengenai asal-usul tempat wisata itu.
Priyadi mencontohkan, soal asal-usul terjadinya gumuk pasir. Juga asal muasal munculnya batu hitam di Parangkusumo yang sebenarnya berawal dari adanya gunung purba yang sudah tidak aktif di sana. “Jadi wisatawan tak hanya datang berkunjung, tapi juga mendapat cerita,” kata Priyadi.
Adapun Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Permukiman, dan Energi Sumber Daya Mineral DIY Rani Sjamsinarsi menjelaska nantinya ada kawasan penyangga yang tidak bebas bangunan tetapi ada batasan kepadatan dan ketinggian.
Berdasarkan kajian awal, zona pengelolaan kawasan tersebut dibagi menjadi zona terbatas seluas 95,3 hektare untuk permukinan kepadatan sedang, pariwisata, fasilitas umum, serta perdagangan dan jasa. Kemudian zona inti seluas 141,1 hektare yang harus bebas dari bangunan dan tanaman. Serta zona penunjang seluas 176,4 hektare untuk perkantoran, hutan pantai, pariwisata, tanaman hortikultura, serta perdagangan dan jasa.
PITO AGUSTIN RUDIANA