TEMPO.CO - MANTAN Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Agama Semarang, Maradam Harahap, sempat menahan diri untuk bercerita soal kariernya yang mandek. Kepada Panitia Seleksi Calon Pemimpin Komisi Yudisial, dalam tes wawancara, ia tak mengisahkan hal itu. Namun akhirnya anggota panitia, Asep Rahmat Fajar, berhasil memaksa Maradam bercerita.
Maradam pun bercerita, setelah enam tahun menjadi hakim tinggi di Badan Pengawasan Mahkamah Agung, Maradam belum pernah mendapat promosi menjadi ketua pengadilan tinggi agama hingga pensiun Juli lalu. Padahal hakim tinggi di Badan Pengawasan adalah orang-orang terpilih yang dianggap bersih. Karier sebelumnya pun moncer. ''Ketika jadi Ketua Pengadilan Agama, saya terbilang baik dan berhasil," kata Maradam.
Tim Promosi Mutasi MA juga tak memberi alasan kenapa mereka justru mengangkat hakim yang lebih muda sebagai Ketua PTA. Padahal mantan Wakil Kepala Pengadilan Tinggi Agama Kepulauan Bangka Belitung tersebut selalu mengikuti pelatihan diklat untuk meningkatkan kapasitas. Integritasnya juga terbukti karena mampu jadi hakim pengawas selama enam tahun. Ia curiga ada parameter lain dalam mempromosikan seseorang di tubuh Mahkamah Agung. "Kata orang, ini karena ada kepentingan kedaerahan dan golongan," kata Maradam.
Tentu saja, kecurigaan itu harus dibuktikan. Tapi bukan berarti Mahkamah Agung, sebagai satu-satunya lembaga yang berhak menentukan tempat penugasan hakim sejak pelantikan, tidak perlu diaudit. Bukan hanya Maradam yang mengalami nasib tak menentu seperti itu. Sebaliknya, ada juga hakim-hakim yang dianggap bermasalah tapi justru mendapat promosi.
Ketua KY Bidang Hubungan Antarlembaga, Imam Anshori Saleh, mengatakan beberapa hakim yang dinilai bermasalah justru mendapat promosi oleh MA. Salah satunya, Hakim Tinggi Daming Sunusi yang justru menjadi Ketua Pengadilan Tinggi Semarang setelah gagal dalam uji kelayakan dan kepatutan calon hakim agung. Padahal KY sempat mengeluarkan rekomendasi sanksi pemecatan bagi hakim yang berasal dari daerah yang sama dengan Ketua MA Hatta Ali, Sulawesi Selatan, itu.
Ketidakjelasan pertimbangan MA, menurut Imam, juga terjadi saat penempatan tugas para hakim yang baru dilantik. Seharusnya, hakim-hakim yang lulus dengan nilai tinggi ditugaskan di pengadilan kelas II, wilayah Jawa. Faktanya, banyak hakim tak berprestasi tapi memiliki hubungan dengan petinggi peradilan justru ditempatkan di pengadilan dengan setumpuk kasus tersebut. MA juga dituding tak bijak karena kerap menempatkan hakim di daerah yang jauh dengan keluarga. Keputusan MA ini menjadi pemantik maraknya kasus perselingkuhan dan asusila di kalangan hakim.
Semua ini terjadi karena selama ini tak ada yang mengawasi atau mengevaluasi promosi dan mutasi di Mahkamah Agung. Komisi Yudisial selama ini lebih berkonsentrasi mengawasi putusan para hakim dan etika dalam kehidupan pribadi mereka. Padahal ada fungsi ketiga yang belum pernah mereka jalankan. "Komisi Yudisial sampai saat ini belum menjalankan salah satu fungsinya berdasarkan Undang-Undang Peradilan, yaitu ikut memberikan rekomendasi mutasi," kata Asep Rahmat. Fungsi itu tertera di Undang-Undang Nomor 49, 50, 51 Tahun 2009 tentang Peradilan.
Selanjutnya >> Pansel KY akan menyerahkan nama-nama kepada Presiden Jokowi akhir bulan ini...