TEMPO.CO, Semarang - Komunitas Pegiat Sejarah Kota Semarang minta pemerintah menyelamatkan sejumlah gardu peninggalan Belanda. Mereka menyebut gardu Algemeene Nederlandsche Indische Electriciteit Maatschappij (ANIEM ) sengaja diabaikan.
“Meski bangunan kecil, gardu itu sebagai artefak, yang sesungguhnya punya arti penting penanda perkembangan sejarah Kota Semarang,” kata Koordinator Komunitas Pegiat Sejarah (KPS) Kota Semarang, Rukardi, Rabu 5 Agustus 2015.
Sejumlah gardu ANIEM yang tak terawat itu terletak di sudut kota, di antaranya di belakang Gereja Blenduk, depan SPBU Jalan Dr Wahidin, Kampung Jomblang, Jalan Veteran, dan Kampung Melayu.
Selain gardu AINEM, ada tugu reklame yang perlu dirawat. Sedangkan bangunan lainnya, sebuah sumur artetis pertama pada zaman Belanda di sebelah timur Taman Srigunting, juga nyaris diabaikan.
Menurut Rukardi, latar belakang pembangunan sumur artetis itu bermula dari adanya wabah penyakit di Kota Semarang. Sumur artesis yang dibuat pemerintah kolonial pada 1841, ada di Parade Plein alias lapangan untuk parade militer. Tujuannya untuk mengurangi dampak buruk wabah kolera. Itulah sumur artesis pertama di Semarang untuk umum.
“Ada pun tugu reklame sepengamatan saya tinggal dua. Yakni di ujung Jalan Gambiran Pecinan, dan di ujung Jalan Merak,” kata Rukardi. Keberadaan tugu reklame itu sebagai bukti komunikasi warga kota, karena tugu itu tempat memasang pengumuman dan informasi publik.
Anggota Tim Ahli Cagar Budaya Kota Semarang, Tjahjono Rahardjo, menyatakan gardu ANIEM, tugu reklame dan sumur artetis itu belum dimasukkan daftar bangunan cagar budaya. “Kami utamakan skala prioritas. Baru gedung-gedung besar yang kami teliti,” kata dia.
Upaya konservasi dan pelestarian, kata dia, harus diimbangi asas penggunaan sehingga bangunan yang diusulkan sebagai bangunan cagar budaya bermanfaat. “Jangan sampai setelah dikonservasi mangkrak sperti gedung SI,” kata Tjahjono.
Saat ini TACB Kota Semarang telah menginventarisir bangunan tua yang ada, diperkirakan sebanyak 200 unit.
EDI FAISOL