TEMPO.CO , Makassar:Para pengungsi Rohingya di Makassar ingin segera diberangkatkan ke negara ketiga alias negara tujuannya agar bisa memperoleh kewarganegaraan. Rata-rata pengungsi dari kelompok etnis minoritas di Myanmar itu menargetkan Australia sebagai negara tujuannya. Mereka berharap di Negara Kanguru itu dapat menjalani kehidupan yang lebih baik.
"Harapan kami cuma satu saja, tolong diproses agar diantarkan ke negara ketiga, seperti Australia. Kami mau mendapat satu tempat di suatu negara agar kehidupan kami lebih baik," kata seorang pengungsi Rohingya, Muhammad Thoyib, 45 tahun, saat ditemui wartawan di Wisma Budi, Jalan Harimau, Kelurahan Maricaya, Kecamatan Makassar, Senin, 25 Mei.
Thoyib berulangkali menegaskan, pihaknya ingin memperoleh kewarganegaraan guna menjamin kehidupan anak-anak pengungsi Rohingya dapat lebih baik. Ia tidak ingin anak-anaknya menjalani kehidupan seperti dirinya yang berpindah-pindah negara tanpa ada kewarganegaraan. Tak mungkin pula kembali ke Myanmar dan hidup di bawah bayang-bayang pembantaian.
Thoyib menceritakan dirinya meninggalkan kampung halamannya di Kampung Ali Tanzw, Kota Bonggo, Myanmar barat, pada 1988. Kala itu dia baru berusia 18 tahun dan masih berstatus pelajar. Bapak lima anak itu sempat berkelana ke sejumlah negara sebelum akhirnya tiba di Makassar pada 2012. Ia sempat melarikan diri ke Bangladesh, Uni Emirat Arab dan Malaysia.
Dalam pelariannya itu, Thoyib mengaku berupaya memperoleh kewarganegaraan. Namun, mimpinya itu tak pernah terealisasi. Di Malaysia, pria berjanggut itu bahkan menetap selama 18 tahun. Ia menghidupi keluarganya dengan berjualan baju. Hampir semua anaknya lahir di Negeri Jiran, tapi tak kunjung memperoleh kewarganegaraan.
Hal itu membuat Thoyib dan keluarganya memantapkan tekad menyeberang ke Australia pada 2012. Sayang, usahanya gagal. Ia pun dibawa ke Makassar. Selama di Kota Daeng, Thoyib mengaku diperlakukan dengan baik bersama sekitar 200 pengungsi Rohingya lainnya. Tapi, niatnya menuju negara ketiga tetap masih sangat besar.
Menurut Thoyib, ada sembilan negara ketiga yang bisa menerima pencari suaka. Ia berharap United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) bisa secepatnya memproses permohonannya itu. Selain Australia, negara yang menerima pencari suaka, disebutnya adalah Amerika Serikat, Jepang, Swedia, Norwegia, Denmark dan Selandia Baru.
Pengungsi Rohingya lainnya, Muhammad Solim, 25 tahun, mengatakan keluarganya tercerai-berai imbas pembantaian etnis Rohingya di Myanmar. Solim melarikan diri ke Makassar pada 2011 dengan bantuan agen. Sedang ibunya menyelamatkan diri ke Bangladesh. Ia mengaku jarang berkomunikasi dengan keluarganya. "Biasanya satu bulan satu kali," ujarnya.
Seperti halnya Thoyib, Solim mengharapkan agar pihak-pihak terkait dapat membantu para pengungsi Rohingya untuk diberangkatkan ke negara ketiga. Solim sendiri mengaku ingin ke Australia guna memperoleh suaka alias perlindungan. Toh demikian, pihaknya cukup senang di Indonesia lantaran pemerintah dan masyarakatnya bisa menerima kehadirannya.
Kepala Kantor Imigrasi Makassar, Tegas Hartawan, mengatakan pihaknya tidak bisa membantu para imigran, termasuk pengungsi Rohingya untuk segera diberangkatkn ke negara tujuan. Musababnya, hal itu merupakan kewenangan UNHCR. Lalu, soal pembiayaan selama di daerah ini juga ditangani International Organisation for Migration (IOM). "Kami sebatas melakukan pendataan," katanya.
TRI YARI KURNIAWAN