TEMPO.CO , Jakarta: Pengacara karyawan PT Chevron Pacific Indonesia pada kasus bioremediasi, Maqdir Ismail mengatakan berencana melakukan Peninjauan Kembali. “Tapi kami belum bisa ajukan PK itu saat ini,” katanya saat dihubungi, Rabu 29 April 2015.
Maqdir menuturkan alasan belum bisa mengajukan peninjauan kembali atas putusan Mahkamah Agung adalah karena berkas vonis yang sudah dijatuhkan MA pada Agustus 2014 belum sampai di tangannya. “Kami belum dapat pertimbangan vonis itu. Makanya kami juga belum bisa ajukan PK,” katanya. Ia mengaku akan menunggu berkas vonis yang mencantumkan pertimbangan keputusan itu.
Kasasi Mahkamah Agung menjatuhkan hukuman penjara 4 tahun dan denda Rp 200 juta kepada Bachtiar Abdul Fatah, karyawan PT Chevron. Bachtiar adalah salah satu dari enam tersangka kasus korupsi pengadaan proyek bioremediasi PT Chevron di Duri, Riau secara tahun jamak (multiyears). Kerugian karena tindak korupsi itu senilai Rp 100 miliar.
Maqdir mengaku sebenarnya sudah ada beberapa novum yang disiapkan untuk mengajukan Peninjauan Kembali nanti. “Ada banyak kekhilafan yang dilakukan hakim, praperadilan telah disetujui pun akan menjadi salah satu pertimbangan PK,” katanya.
Walau begitu, ia enggan merinci hal lain yang bisa mendukungnya dalam pengajuan Peninjauan Kembali. “Kita tunggu dulu saja berkas vonisnya, agar tahu pertimbangannya apa saja,” katanya.
Baca Juga:
Upaya hukum Bachtiar selain mengajukan PK adalah melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi atas UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Mahkamah pun mengabulkan sebagian pengujian atas undang-undang itu. Putusan tersebut menegaskan, ketentuan praperadilan yang tertuang dalam Pasal 77 huruf a KUHAP bertentangan dengan Konstitusi sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.
Menurut Mahkamah, KUHAP tidak memiliki check and balance system atas tindakan penetapan tersangka oleh penyidik karena tidak adanya mekanisme pengujian atas keabsahan perolehan alat bukti.
MITRA TARIGAN