TEMPO.CO, Blitar - Warga korban penggusuran PT Holcim di Desa Ringinrejo, Kecamatan Wates, Kabupaten Blitar membantah ditawari kompensasi tanah oleh produsen semen tersebut. Menurut warga, lahan itu justru diberikan kepada Pemerintah Kabupaten Blitar sebagai kompensasi ruislag.
Pernyataan ini disampaikan Farhan Mahfudzi, aktivis Solidaritas Masyarakat Desa (Sitas Desa), yang mendampingi aksi unjuk rasa warga di Kedutaan Swiss di Jakarta, Senin, 20 April 2015. Menurut Farhan, pernyataan PT Holcim soal penyediaan lahan pengganti kepada warga adalah omong kosong. "Tidak ada penawaran kompensasi tanah dari PT Holcim," katanya, Rabu 22 April 2015.
Menurut Farhan sejak awal pembahasan proses tukar guling lahan seluas 724,23 hektar itu oleh PT Holcim sama sekali tidak mengajak warga desa, melainkan hanya melibatkan Perhutani dan Pemerintah Kabupaten Blitar. Farhan heran bila PT Holcim mengklaim telah menawarkan lahan kompensasi kepada warga seluas 72,4 hektar.
Kronologis pengalihan lahan, menurut Farhan, berawal dari PT Semen Swima Agung (PT SDA), anak perusahaan PT Holcim Indonesia Tbk, yang mengajukan pembukaan lahan hutan milik PT Perhutani seluas 400 hektar di Kabupaten Tuban pada 1990. Sebagai kompensasi tukar guling, Holcim menawarkan 724, 23 hektar tanah di Ringinrejo, Blitar menjadi tanah negara pada 1998.
Tanah eks perkebunan tersebut diklaim PT Holcim sebagai hasil pembelian PT SDA dari PT Gondang Tapen Blitar pada 1996. Pelepasan tanah tersebut diprotes warga dan petani penggarap di Ringinrejo yang telah menempatinya selama bertahun-tahun. Menurut Farhan, tanah perkebunan tersebut adalah milik Perhutani yang dikuasai PT Godang Tapen dengan status Hak Guna Usaha (HGU).
Warga tetap bertahan dan turut mengelola karena meyakini tanah tersebut milik negara. Ketika reformasi bergulir, warga sempat menuntut redistribusi tanah itu ke pengadilan namun tidak berhasil.
Farhan menilai transaksi penjualan lahan antara PT SDA dengan PT Gondang Tapen ilegal karena tak didasari sertifikat kepemilikan lahan. "Kenapa Perhutani diam saja lahannya dijual oleh pemegang HGU ke Holcim, dan sekarang dikembalikan lagi ke Perhutani sebagai ganti rugi ruislag di Tuban," kata Farhan.
Dia mengakui bahwa PT SDA menawari kompensasi lahan atas pelepasan tersebut. Namun kompensasi itu diberikan kepada pemerintah Kabupaten Blitar, bukan kepada petani penggarap. Saat ini warga tetap berusaha mendapatkan pembebasan lahan dari PT Holcim seluas 400 hektar untuk dikelola sendiri. Jumlah ini sebanding dengan jumlah warga penggarap yang mencapai 826 orang di tempat itu.
Sebelumnya, Legal and Corporate Affair Director PT Holchim Indonesia Tbk Farida Helianti Sastrosatomo mengatakan perusahaannya menganggap proses tukar guling sudah sesuai prosedur hukum yang berlaku. Sebagai bagian syarat ruislag, Perhutani meminta PT SDA melakukan rebosisasi. Namun rebosisasi ini terganjal keberadaan petani yang ikut mengelola lahan.
Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Pemerintah Kabupaten Blitar Mujianto memilih aman dengan mengatakan akan berusaha menyelesaikan perselisihan itu secara kekeluargaan. Dia tak menampik bahwa hingga saat ini masih ada persoalan pidana di lahan tersebut.
Namun saat ditanya persoalan pidana yang dimaksud, dia tak bersedia menjelaskan. "Kami akan selesaikan satu per satu, termasuk memilih warga yang benar-benar berhak. Soal pidananya bukan wewenang kami," katanya.
HARI TRI WASONO