TEMPO.CO, Sorong - Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Abdon Nababan menyoroti kurangnya representasi masyarakat adat dalam konstitusi negara. Menurut dia, dari 1.148 suku di Indonesia, hanya 14 suku besar yang saat ini mengambil posisi penting sebagai pengambil kebijakan.
"Identitas dominanlah yang paling menguasai institusi negara kita saat ini," kata dia dalam sarasehan rapat kerja nasional AMAN di Sorong, Senin, 16 Maret 2015.
Karena itu, kata dia, kebijakan negara semakin membuat masyarakat adat terpinggirkan. Salah satunya dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
Menurut Abdon, dalam prakteknya, undang-undang ini justru mengkriminalisasi masyarakat adat. Contohnya, kasus Bahtiar Sabang, warga adat Turungan Baji di Sulawesi Selatan, yang mencuat Oktober 2014 lalu. Bahtiar ditangkap gara-gara menebang sebatang pohon yang ditanam di kebun sendiri, tapi diklaim pemerintah masuk kawasan hutan negara. Kasus bapak berusia 45 tahun itu masih dalam proses Pengadilan Negeri Sinjai, Sulawesi Selatan.
Tak hanya itu, program legislasi nasional tak memasukkan Rancangan Undang-Undang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat dalam prioritas tahun ini. Padahal, Indonesia menjadi salah satu inisiator dalam deklarasi PBB tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat adat.
Begitu pula dengan revisi Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 telah membatalkan beberapa poin dalam undang-undang itu, sehingga pasal yang menyatakan hutan adat adalah milik negara dibatalkan.
Namun prakteknya, Surat Edaran Menteri Kehutanan Nomor SE 1/Menhut-II/2013 tentang Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 tanggal 16 Mei 2013 yang disampaikan ke gubernur, bupati, wali kota, dan kepala dinas kehutanan di seluruh Indonesia masih menegaskan penetapan kawasan hutan adat tetap berada di tangan Menteri Kehutanan.
"Hal-hal seperti ini terjadi karena tidak ada perwakilan masyarakat adat dalam institusi pengambil kebijakan dan peraturan," kata Abdon.
Kondisi ini diperparah dengan kurangnya pendataan masyarakat adat. Mereka, kata Abdon, menolak memiliki identitas resmi, seperti KTP, karena harus terdaftar sebagai penganut agama yang diakui negara. "Pun tidak ada usaha negara untuk mencatat mereka," kata dia. "Jadi secara tidak langsung, puluhan juta orang Indonesia sesungguhnya sedang dimusnahkan dari negeri ini."
Abdon mengaku gerah dengan kondisi negara pasif yang semakin berlarut ini. Karena itu, ia meminta masyarakat adat yang maju sendiri menyuarakan hak-haknya. "Sebagai masyarakat adat, sudah saatnya kita terlihat setelah 70 tahun negara lupa," kata dia.
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara menyelenggarakan Rapat Kerja Nasional IV di Sorong, Papua Barat. Rapat akbar ini diharapkan mampu menghasilkan komitmen bersama pemerintah terhadap pengakuan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak masyarakat adat di Indonesia.
INDRI MAULIDAR