SEBELUMNYA: Jokowi pun Sembrono di Hitungan Ini
PARA praktisi klinis serta akademisi masih terus memperdebatkan definisi adiksi yang paling akurat secara klinis. Meskipun demikian, terdapat banyak perangkat pengukuran dan diagnostik terstandarisasi yang diterima luas untuk menentukan tingkat adiksi, yang memerhitungkan lebih dari sekedar frekuensi dan metode penggunaan napza. Pengukuran ini melibatkan dimensi-dimensi biologis, psikologis serta sosiologis.
Sebagai contoh, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menggunakan International Classification of Diseases and Health Problems (ICD-10) atau Klasifikasi Internasional Penyakit dan Masalah Kesehatan versi 10 untuk menentukan adiksi. Beberapa alat pengukuran/asesmen adiksi lain yang terstandarisasi, dapat diandalkan, dan disetujui oleh WHO juga tersedia dan dapat digunakan untuk mengukur tingkat penggunaan napza yang bermasalah.
Yang membedakan alat-alat ini dengan kategorisasi “kasar” dari BNN-UI adalah aplikasi dan penekanan elemen-elemen perilaku, kognitif dan fisiologis yang kompleks pada adiksi, sesuai sejatinya. Elemen-elemen ini meliputi kualitas hidup pengguna, gejala putus zat, relapse/penggunaan kembali yang kronis, serta bukti-bukti jelas yang menunjukkan efek merusak akibat penggunaan zat secara tidak terkendali.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mengestimasikan adanya 74.326 orang pengguna napza suntik di Indonesia, dengan konsentrasi pengguna terbanyak berada di Jakarta dan sekitarnya, Jawa Timur, serta Jawa Barat. Organisasi-organisasi internasional seperti Perserikatan Bangsa-bangsa dan WHO juga merujuk pada angka/data ini.
Angka ini mencerminkan perkiraan jumlah pengguna napza suntik dalam survey lain yang dilakukan oleh BNN-UI pada tahun 2011. Survey ini juga mengidentifikasi sekitar 1,1 juta pengguna napza non-suntik di Indonesia. Kebanyakan dari mereka menggunakan ecstasy dan crystal methamphetamine (shabu) sebanyak lebih dari 49 kali pada tahun sebelum survey dilakukan.
Meskipun demikian, seperti yang telah dijabarkan di atas, indikator seperti metode atau frekuensi penggunaan napza saja tidak cukup untuk menentukan apakah seseorang membutuhkan rehabilitasi atau tidak, atau bahkan apakah rehabilitasi merupakan metode yang tepat.
Di antara para pengguna ini, mungkin hanya beberapa yang siap atau memilih untuk menjalani program rehabilitasi di pusat rehabilitasi BNN. Yang lainnya mungkin memilih untuk mengikuti program terapi rumatan metadon; sebagian lagi mungkin dapat terus hidup mandiri secara produktif sambil mengelola sendiri penggunaan napza mereka.
Perkara Hidup dan Mati
Para analis dari dalam maupun luar Indonesia telah dengan jelas berargumen menentang hukuman mati bagi tindak pidana narkotika dengan dasar keberpihakan pada hak asasi manusia. Berbagai bukti dari Singapura, Malaysia, dan berbagai negara lainnya menunjukkan bahwa hukuman mati tidaklah efektif dalam menimbulkan efek jera untuk menghalangi peredaran maupun menekan tingkat penggunaan narkotika.
Harus diakui bahwa setiap penelitian pasti memiliki ambang kesalahan, tidak semua penelitian dirancang dan dilaksanakan dengan baik. Dalam situasi terburuk, penelitian dapat dimanipulasi sedemikan rupa untuk memberi pembenaran kebutuhan politik tertentu, menyulut ketakutan publik dan memberikan kredibilitas semu untuk mendukung kebijakan-kebijakan yang punitif, tidak etis dan tidak populer.
Keputusan maupun kebijakan apapun, apalagi yang menyangkut hidup atau mati seseorang harus diambil berdasarkan bukti yang baik dan dapat diandalkan.
*) Claudia Stoicescu adalah kandidat PhD di University at Oxford, peneliti Centre for Evidence-Based Social Intervention, dan visiting researcher yang tengah melakukan kolaborasi dengan Atma Jaya HIV-AIDS Research Center dan Persaudaraan Korban Napza Indonesia untuk menginvestigasi risiko HIV di antara pengguna narkotika suntik perempuan.