3. Pilkada langsung memunculkan politik balas budi
Masalah utama bukan terletak pada sistem pemilihan, tetapi pada komunikasi politik yang terhambat. Relasi antara elite politik dan massa baru terjalin saat lobi melobi pemilih dengan menawarkan imbalan uang. "Seharusnya elite politik mengagregasi dan mengartikulasi kepentingan rakyat," ujar Arif. (Baca: UU Pilkada, Netizen Minta SBY Stop Bersandiwara)
4. Moratorium pilkada langsung dapat menghemat anggaran Rp 50-70 triliun
Badan Pengkajian dan Pengembangan Teknologi (BPPT) menyebut e-voting bisa menghemat anggaran hingga 50 persen. Pilkada oleh DPRD mungkin lebih efisien dari segi pembiayaan, naamun hal itu tidak sepadan karena harus mengorbankan kedaulatan rakyat. "Kenapa tidak meempertimbangkan opsi e-voting ini saja?" ujar Arif. (Baca: Pengamat: RUU Pilkada Balas Dendam Kubu Prabowo)
5. Pilkada langsung tak sesuai demokrasi Pancasila
Sejumlah petinggi partai dari Koalisi Merah Putih seperti Aburizal Bakrie dari Partai Golkar menyuarakan pilkada langsung sebagai bentuk neo-liberalisme yang tidak sesuai dengan Pancasila. Sedangkan sistem pemilihan tidak langsung melalui DPRD lebih sesuai dengan Pancasila terutama sila ke-4.
"Namun substansi demokrasi bukanlah pada perwakilannya, melainkan pada permusyawaratan rakyat yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan," ujar Arif. (Baca pula di SBY Diminta Segera Teken UU Pilkada)
Ia menilai, semakin luas partisipasi, semakin sehat demokrasi; semakin luas permusyawaratan rakyat, semakin sehaat demokrasi. "Rakyat sendiri tidak melihat DPRD sebagai representasi mereka. Lebih baik langsung," kata Arif.
URSULA FLORENE SONIA