TEMPO.CO, Jakarta - Ahli hukum tata negara dari Universitas Indonesia, Refly Harun, menilai pemilihan kepala daerah oleh DPRD bisa mengancam kelangsungan demokrasi. Menurut dia, hal ini bukan masalah antara pilkada langsung dan tidak langsung.
"Menjaga demokratisasi agar jangan sampai terjerembap otoriterisasi," kata Refly ketika dihubungi, Jumat, 26 September 2014. Dia beralasan, ancaman pilkada oleh DPRD bukan hanya hak rakyat memilih pemimpinnya secara langsung yang dirampas. (Baca: Walkout Paripurna RUU Pilkada, Demokrat Pengecut)
Kalau isu ini dibiarkan menggelinding, ujar dia, Majelis Permusyawaratan Rakyat bisa saja dihidupkan kembali sebagai lembaga tertinggi negara. "Presiden bisa dijatuhkan MPR," tutur Refly.
Dia berharap, kalau ada elemen masyarakat yang mengajukan uji materi, hakim Mahkamah Konstitusi bisa membuka mata dan hati nuraninya. "Karena ini bukan soal untung dan ruginya pilkada langsung atau tak langsung," tutur Refly. (Baca: Bendera PKS Dibakar, Jumhur: Massa Marah)
Kamis malam, 25 September 2014, rapat paripurna DPR menetapkan pemilihan kepala daerah melalui DPRD. Keputusan tersebut merupakan hasil pemungutan suara terbanyak atau voting. Berdasarkan rekapitulasi hasil voting, fraksi-fraksi pendukung pilkada oleh DPRD, yakni PAN, PKS, PPP, Golkar, dan Gerindra, menang dengan 256 suara. Sedangkan tiga fraksi pendukung pilkada langsung, yakni PDI Perjuangan, PKB, dan Hanura, hanya memperoleh 135 suara.
Fraksi Demokrat dengan anggota yang hadir 129 memilih walkout lantaran aspirasi mereka tentang pilkada langsung dengan sepuluh syarat ditolak. Fraksi Demokrat hanya menyisakan enam suara yang menyatakan mendukung pilkada langsung. (Baca: RUU Pilkada, Kubu Jokowi Merasa Dibohongi Demokrat)
LINDA TRIANITA
Baca juga:
KPK Hattrick Tangkapi Gubernur Riau
Rodgers: Balotelli Belum Selevel dengan Suarez
Ronaldo, Atlet Paling Populer di Twitter