TEMPO.CO, Tegal - PT Kereta Api Indonesia tidak bisa menunjukkan bukti kepemilikan aset di wilayah RT 7 dan RT 8 RW 3 Kelurahan Panggung, Kecamatan Tegal Timur, Kota Tegal, Jawa Tengah. Padahal, PT KAI telah mengklaim akan menggusur 59 rumah di wilayah itu untuk membangun sejumlah fasilitas umum penunjang Stasiun Kota Tegal. “Selama ini kami terlena tidak mendaftarkan (hak konversi tanah eigendom yang menjadi sengketa) karena sudah yakin tercatat dalam neraca aset negara (yang diamanahkan kepada PT KAI),” kata salah satu staf PT KAI, Sari, dalam forum mediasi di ruang rapat Komisi II DPRD Kota Tegal pada Senin, 22 September 2014.
Mendengar jawaban itu, belasan perwakilan warga yang rumahnya terancam digusur oleh PT KAI sontak bertepuk tangan. Ketua DPRD Kota Tegal, Edy Suripno, mengatakan PT KAI tidak bisa asal menggusur rumah warga, tanpa dasar hukum yang kuat. “Warga di sana rutin membayar Pajak Bumi dan Bangunan. Mereka berhak mendapat keadilan,” katanya.
Seandainya PT KAI bisa menunjukkan bukti kepemilikan aset tersebut, Edy berujar, penggusuran rumah warga untuk pembangunan fasilitas umum musti mempertimbangkan rencana tata ruang wilayah (RTRW) Kota Tegal.
Karena tanah di RT 7 dan 8 yang diklaim sebagai aset PT KAI belum memiliki legal standing (kedudukan hukum), DPRD Kota Tegal hanya mempersilakan PT KAI melakukan pembenahan sebatas pada gedung Semarang-Chirebon Stoomtram Matschappij (SCS) dan sejumlah rumah dinas di sekitarnya.
Gedung SCS adalah bangunan peninggalan kolonial Belanda yang berada di barat Stasiun Kota Tegal. Rencananya, gedung empat lantai itu akan dimanfaatkan sebagai museum seperti Gedung Lawang Sewu Semarang. Adapun 59 rumah warga di sekitar gedung itu akan digusur untuk pembangunan taman, toilet, masjid, dan halaman parkir.
Karena PT KAI dan DPRD Kota Tegal saling bersikukuh dengan pendapat masing-masing, forum mediasi selama dua jam itu dihentikan tanpa kesepakatan. Kecewa karena belum ada kepastian nasib mereka, puluhan warga yang semula berunjuk rasa di depan Gedung DPRD berarak ke Balai Kota Tegal. “Aja digusur ndekene nyong. Nyong belih urusan mboapa alesane (Jangan digusur punya saya. Saya tidak peduli apapun alasannya),” kata Sutinah, 57 tahun, di depan gerbang Balai Kota Tegal yang ditutup dan dijaga belasan anggota Satpol PP. Sutinah sudah 11 tahun menghuni lahan sengketa di depan Stasiun Kota Tegal itu.
Kepala Aset PT KAI wilayah Jawa Tengah Sudibyo mengatakan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1959, aset dari 12 perusahaan kereta api swasta Belanda yang tergabung dalam verenigde spoorwegbedrijf (VS) telah diserahkan kepada DKA (sekarang PT KAI). “Sejak berlakunya PP itu, semua aset VS menjadi milik PT KAI,” kata Sudibyo. Dia menambahkan, warga menolak digusur karena mengira tanah yang mereka tempati adalah tanah negara bebas. “Padahal, sejak 1958, tanah itu sudah masuk neraca aset negara yang diamanahkan kepada PT KAI sebagai penyertaan modal,” ujarnya.
DINDA LEO LISTY