TEMPO.CO, Yogyakarta - Kejaksaan Tinggi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menyita dan menyegel lahan seluas 9.114 meter persegi di Wukirsari, Cangkringan, Sleman, dalam kaitan dengan kasus penjualan aset Universitas Gadjah Mada, Selasa, 12 Agustus 2014. Lahan yang diklaim sebagai milik Yayasan Fakultas Pertanian UGM (Fapertagama) itu dibeli dari hasil penjualan tanah seluas 4000 meter persegi di Plumbon, Banguntapan, Bantul.
Anehnya, sertifikat lahan di Plumbon ini bukan atas nama Yayasan Fapertagama, melainkan Triyanto, yang kini menjabat Wakil Dekan III Bidang Keuangan, Aset, dan Sumber Daya Manusia Fakultas Pertanian UGM. "Lahan itu atas SHM (sertifikat hak milik) salah satu tersangka T (Triyanto)," kata Asisten Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Daerah Istimewa Yogyakarta Azwar, Selasa, 12 Agustus 2014.
Triyanto bersama tiga dosen Fakultas Pertanian lain, termasuk Profesor Susamto, Ketua Majelis Guru Besar UGM, ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus penjualan aset negara ini. Penjualan lahan yang dulu digunakan sebagai lokasi praktek mahasiswa Fakultas Pertanian dan Kehutanan itu terjadi pada 2003-2007 saat Susamto menjadi Ketua Yayasan Fapertagama ex officio Dekan Fakultas Pertanian.
Kini lahan di Plumbon yang diyakini Kejaksaan Tinggi DIY sebagai lahan milik UGM itu sudah berubah fungsi menjadi perumahan mewah setelah dijual ke perusahaan pengembang sebesar Rp 2,08 miliar. Tapi, menurut penyidik, dalam akta jual-beli, nilai penjualan hanya dilaporkan Rp 1,2 miliar.
Pengacara tersangka, Heru Lestarianto, membenarkan informasi bahwa lahan di Wukirsari itu dibeli dari hasil penjualan lahan di Plumbon. Harganya Rp 650 juta. Ihwal pada sertifikat lahan tertulis nama Triyanto, dia mengatakan nama akademikus UGM itu hanya dipinjam. Sebab, Yayasan Fapertagama tidak bisa mempunyai lahan bersertifikat atas nama yayasan sendiri. "Hanya pinjam nama saja. Itu berdasarkan rapat pleno yayasan," katanya.
Lagi pula, ia melanjutkan, bersama istrinya, Triyanto membuat surat pernyataan bahwa namanya hanya dipinjam. "Pinjam nama itu tidak melanggar hukum. Siapa yang melarang?" kata Heru.
MUH. SYAIFULLAH