TEMPO.CO, Banyuwangi - Pengamat Timur Tengah dan pemikiran Islam, Haidar Bagir, mengatakan pemerintah Indonesia tidak bisa menghadang masuknya gerakan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) hanya dengan cara respresif. “Upaya preventif lebih penting,” kata Haidar di Banyuwangi, Jawa Timur, Selasa, 5 Agustus 2014. (Baca: Usut ISIS, Intelijen Disebar ke Gunung Wilis)
Menurut Haidar, sikap ekstremis sering lahir dari kelompok yang terlantar dan terpinggirkan. Dia meminta pemerintah menjamin keadilan distribusi ekonomi di kalangan menengah ke bawah. Tanpa keadilan ekonomi, kelompok-kelompok terpinggirkan akan menjadi sasaran empuk masuknya ideologi radikal.
Dosen Pemikiran Islam Islamic College for Advanced Studies (ICAS) Universitas Paramadina ini juga mengatakan langkah pencegahan lainnya dengan mengintensifkan dakwah. “Dakwah-dakwah untuk mensosialisasikan Islam yang damai,” kata Direktur Penerbit Mizan itu. (Baca: Warga Solo Hapus Mural Bergambar Bendera ISIS)
Menurut Haidar, langkah represif membutuhkan penegakan hukum yang serius. Dia mendukung pencabutan status kewarganeraan bagi warga Indonesia yang bergabung dengan ISIS. Sebab gerakan ISIS bertentangan dengan demokrasi yang dianut Indonesia. “Kalau Al-Qaedah itu radikal, maka ISIS itu ultraradikal.”
ISIS meluluhlantakkan wilayah barat dan timur Irak sejak awal 2014. Termasuk menghancurkan pusat peninggalan budaya Irak. Kamis, 24 Juli 2014, ISIS menghancurkan makam Nabi Yunus di Kota Mosul, tempat suci umat Islam dan Kristen.(Baca: Foto dengan Bendera ISIS, Baasyir Akan Dihukum)
IKA NINGTYAS
Baca juga:
Migrasi Golkar Tinggalkan Ical Tunggu Putusan MK
5 Pesohor Dunia yang Gagal Meraih Sukses
Buka Kotak Suara, KPU Ambil Dokumen Ini
Cara Ahok Halau Pendatang ke Jakarta