TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah Indonesia diminta segera membuat terobosan hukum untuk mengatasi ancaman yang terjadi sekembalinya sejumlah warga negara Indonesia pendukung kelompok ekstremis Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) yang berperang di Suriah.
"Dengan pengalaman perang, ideologi lebih kuat, mengikuti pelatihan, dan keahlian mengenai persenjataan akan menjadi ancaman yang lebih besar," kata Sidney Jones, Direktur Institute for Policy Analysis of Conflict, kepada Tempo di kantornya, Jumat, 1 Agustus 2014. (Baca: BNPT: Dukung ISIS, Kewarganegaraan Hilang)
Sejauh ini, Sidney belum jelas mengetahui konsekuensi dari banyaknya warga Indonesia yang dibaiat sebagai pendukung pendiri ISIS, Abu Bakar al-Baghadadi. Namun ia yakin sudah ada warga Indonesia pendukung ISIS yang berjuang angkat senjata di Suriah.
Sidney kemudian berjalan menuju meja kerjanya dan membuka akun Facebook dengan foto profil seorang pria remaja menyandang senjata laras panjang dan dilatarbelakangi mobil bak terbuka warna krem. Pria itu memberi nama di akun FB sebagai Abu Zeyd al-Indunisi. (Baca: Pendukung ISIS Menyebar dari Jawa Sampai Sulawesi)
Beberapa teman FB Abu Zeyd juga mengaku sudah di Suriah sebagai mujahid. Bahkan akun FB seorang perempuan bersuami warga Indonesia bernama Siti Khadijah mengaku sekarang berada di Aleppo, Suriah.
Menurutnya, apa yang ditemukan di FB menjadi rujukan bagi lembaganya untuk memastikan sudah ada warga Indonesia ikut bertempur di Suriah. Dan yang paling mengkhawatirkan adalah saat mereka kembali ke Indonesia karena mereka dapat menggunakan keahliannya untuk melakukan kekerasan untuk melawan ideologi yang berbeda dengan keyakinannya.
Pemerintah Indonesia, ujar Sidney, belum memiliki mekanisme hukum manakala warga negaranya berperang di satu negara atas nama organisasi ekstremis lalu pulang ke tempat tinggalnya. "Tidak ada hukum yang melarang orang pergi bergabung dengan organisasi asing."
Sementara untuk mencegah mereka berangkat ke Suriah untuk berperang atas nama ISIS, Sidney melanjutkan, tidak mungkin dilakukan. Sebab, mereka yang ke Suriah tidak akan mengaku pergi untuk berperang dan pendukung ISIS. Dan, selain itu mereka yang akan ke Suriah bisa jadi tenaga kerja Indonesia atau mahasiswa. Sehingga sulit membedakan mana pendukung ISIS dan mana yang ke Suriah untuk bekerja atau sekolah. (Baca: Pendiri Kamp Militer di Aceh Pendukung Utama ISIS)
Namun kecurigaan ada pada mereka yang mengaku ke Suriah untuk sekolah. Sidney beralasan, kebanyakan yang direkrut untuk berperang di Suriah adalah mahasiswa. Mahasiswa Indonesia direkrut dari Yaman, Mesir, dan Islamabad, Pakistan.
Menurut Sidney, Kementerian Luar Negeri melalui Kedutaannya di Timur Tengah dapat berperan untuk memantau kegiatan para mahasiswa Indonesia. Namun, ia menilai sulit bagi Kementerian Luar Negeri melakukannya karena butuh dukungan sumber daya manusia maupun dana untuk memantau warga Indonesia pendukung ISIS di Timur Tengah. Pemerintah saat ini lebih fokus melindungi TKI yang berada di kawasan rawan konflik di Timur Tengah.
MARIA RITA
Baca juga:
Jokowi Pertimbangkan Jabatan Wakil Menteri Dihapus
Gurita Ini Mengerami Telurnya Lebih dari 4 Tahun
Hari Ini Puncak Arus Balik Via Purbaleunyi
Tolak Bayar Paten, Microsoft Gugat Samsung