TEMPO.CO, Yogyakarta - Pemerintah Kota Yogyakarta mulai mengawasi dan membatasi izin bangunan baru yang mengganggu penataan lima kawasan program Jogja Heritage City. “Akan ada pengawasan agar penataan kawasan itu lancar,” kata Wali Kota Yogyakarta Haryadi Suyuti, Rabu, 12 Februari 2014.
Pemerintah Kota Yogyakarta dan Pemerintah DIY sejak akhir tahun lalu menetapkan lima kawasan cagar budaya yang menjadi prioritas realisasi program Jogja Heritage City (Yogya Kota Pusaka). Lima kawasan itu meliputi Kotabaru, Kotagede, Keraton, Pakualaman, dan Malioboro. Kawasan ini representasi wajah kota dengan penataan artefak sejarah kebudayaan.
Haryadi menolak kebijakan itu disebut larangan. Namun dia minta tiap kecamatan di lima wilayah itu mengawasi pengajuan izin pendirian dan renovasi bangunan yang tak sesuai konsep program Jogja Heritage City. “Jangan sampai bangunan baru justru merusak ciri kawasan,” kata dia. Misalnya di Kotabaru, bangunan bercorak kolonial dilarang diubah menjadi fasad bercorak Jawa, berupa gapura, pendapa, atau bentuk lain yang tak mencerminkan fasad khas indiesch.
Hal yang sama berlaku untuk kawasan Puro Pakualaman agar tak mengganggu lanskap khas sekitarnya. Seperti pendirian hotel dengan belasan lantai lebih tinggi yang berdekatan dengan Puro Pakualaman. “Kalau tak bisa mengubah desain agar sesuai, ya, tidak disetujui izinnya,” kata dia. Bahkan diatur hingga soal pengecatan. “Kota Baru misalnya, masak akan ada rumah tua dengan bangunan bercat warna-warni.”
Sebelumnya Kepala Bappeda Kota Yogyakarta Edy Muhammad menyatakan Jogja Heritage City merupakan konsep penataan kawasan Yogyakarta sesuai Undang-Undang Keistimewaan. “Salah satu amanat undang-undang itu memberi ruang bagi Yogyakarta melakukan penataan tata ruang,” katanya.
Sedangkan Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan (LPMK) Kotabaru Sugiarto menuturkan bahwa program Jogja Heritage City itu mestinya segera dimulai dengan kebijakan pengiring. “Seperti surat keputusan bagi sejumlah rumah di Kota Baru agar segera punya status cagar budaya,” katanya. Termasuk soal pertanahan yang masih jadi beban. Sebagian besar lahan di Kota Baru statusnya masih hak guna bangunan, bukan hak milik. “Warga khawatir akan menyulitkan kewenangan pengelolaannya.”
PRIBADI WICAKSONO