TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengaku belajar soal gaya berkomunikasi kepada dua pendahulunya di Istana Presiden. Apakah dia mengikuti gaya Abdurrahman Wahid alias Gus Dur atau Megawati Soekarnoputri?
Dalam bukunya, Selalu Ada Pilihan, yang diluncurkan Jumat, 17 Januari 2014, SBY menuturkan bagaimana dia menilai gaya berkomunikasi dua presiden pendahulunya itu. Menurut SBY, seperti ditulis pada halaman 611, gaya dan sikap dua presiden ini sangat bertolak belakang dalam menanggapi berbagai isu dan komentar publik. “ Gus Dur lebih reaktif, sementara Ibu Mega cenderung diam,” kata SBY.
SBY menyakini, dua mantan bosnya itu punya pertimbangan masing-masing dalam bersikap demikian. Sikap ini, kata SBY, tak bisa dianggap jelek, tapi tak bisa dianggap baik pula. Karena itu, SBY mengaku belajar dari dua sikap itu. “Saya akhirnya memlih di antara keduanya,” kata SBY.
Menurut SBY, ia tak mau terlalu reaktif menghadapi serangan terhadap kepemimpinannya. Karena itu, dia sengaja tidak menanggapi setiap isu atau komentar para pengamat dan politikus. Alasannya: selain tak perlu, waktu pun menjadi tersita. "Kalau diladeni, saya justru tidak bekerja. Waktu saya akan habis untuk itu,” kata SBY. Apalagi, kata SBY, politik tidak harus terus-menerus panas.
Meski begitu, SBY mengaku memperhitungkan setiap komentar dan isu yang muncul. Ada kalanya ia merespons, tapi ia juga memperhitungkan reaksi balasan. Sebab, menurut dia, ada kemungkinan munculnya serangan yang sifatnya berbalik.
WDA
Berita terkait buku SBY
Sakit Hati SBY Tak Jadi Cawapres Mega
Lewat Buku, SBY Bilang Tak Suka Kritik Asbun
Sejarah SBY Mau Aktif di Media Sosial
SBY Bahas Soal Fitnah di Buku 'Selalu Ada Pilihan'
Alasan SBY Pilih Judul Buku 'Selalu Ada Pilihan'
SBY Stres Bukunya Terlalu Tebal