TEMPO.CO, Jakarta - Riset analisis strategis Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan pada 2013 lalu menyimpulkan pemilu dan pilkada mengakibatkan peningkatan transaksi keuangan mencurigakan dan transaksi keuangan tunai dari penyedia jasa keuangan terhadap peserta pemilu/pilkada. "Tren LTKM secara keseluruhan pada tahun 2004 ke 2005 menunjukkan peningkatan sebesar 145 persen serta pada tahun 2008 ke 2009 meningkat sebesar 125 persen," kata Ketua PPATK Muhammad Yusuf dalam paparan akhir tahun, Jumat, 3 Desember 2014.
Pola laporan transaksi keuangan tunai (LTKT) pemenang pilkada cenderung meningkat dibanding jumlah dan frekuensi transaksi keuangan tunai peserta sebelum terpilih. "Sedangkan pada kegiatan pemilu legislatif, jumlah dan frekuensi transaksi keuangan tunai para peserta tidak hanya meningkat pada saat kegiatan pemilu legislatif saja, tetapi terus meingkat dalam periode setelah pemilihan," katanya.
Riset strategis mengenai tipologi pelaporan laporan transaksi keuangan mencurigakan (LTKM) dan laporan transaksi keuangan tunai (LTKT) ihwal pemilu legislatif dan pilkada dengan basis data pemilu tahun 2004 dan 2009 ini melibatkan populasi 138 anggota DPD, 570 anggota DPR, 31 kepala daerah tingkat I, dan 948 kepala daerah tingkat II.
Dari penelitian ini diketahui bahwa peningkatan transaksi terjadi setelah pemilu tahun 2009. Jumlah LTKM naik dari 10.432 laporan pada 2008 menjadi 23.520 laporan pada 2009. Ribuan modus dalam transaksi ini terekam dalam 1.185 LTKT dari 218 pihak terlapor periode 2018-2012 atau 2.260 LTKT degan 339 pihak terlapor periode 2004-2012. Untuk periode 2018-2012, pihak terlapor terdiri atas 97 anggota DPR dan 91 kepala daerah tingkat II (kabupaten/kota), sisanya anggota DPD dan kepala daerah Tingkat I.
Yusuf melanjutkan, dalam riset ini ditemukan fakta transaksi pola structuring menjadi pola yang digunakan dalam memberikan sumbangan dana pemilu melalui rekening peserta pemilu atau pilkada. "Terdapat fakta adanya penyalahgunaan dana pemilu yang dipergunakan untuk kepentingan pribadi," katanya.
Menurut Yusuf, dalam soal inkumben yang kembali mencalonkan diri, beberapa sumbangan dana bagi kepentingan pemilu atau pilkada diperoleh dari pihak swasta yang merupakan rekanan pemda dan BUMD. "Pola-pola transaksi tersebut mempunyai indikasi pelanggaran yang cukup kuat terhadap peraturan perundang-undangan dan potensi tindak pidana asal serta pencucian uang," katanya.
FEBRIANA FIRDAUS